Featured Video


Free chat widget @ ShoutMix

Aset Koruptor Indonesia di Singapura 783 Triliun

Keseriusan Singapura melaksanakan perjanjian ekstradisi dpertanyakan karena para koruptor RI yang kabur ke Singapura juga memiliki investasi di Singapura. Total dana orang Indonesia yang diparkir di sana mencapai sekitar US$ 87 miliar atau setara dengan Rp 783 triliun.

Ternyata Rokok Tidak Berbahaya

Dari penyelidikan beberapa pakar kesehatan mengatakan rokok itu sama sekali tidak berbahaya bagi kesehatan. Bahkan mereka berusaha membuktikannya dengan kisah-kisah yang sudah lama terpendam sejak zaman dahulu kala.

Bung Karno Geram, Ike John Repot

Negara digdaya itu dibikin malu Indonesia ketika pilotnya, Allen Pope ditembak jatuh di pulau Morotai. Lebih malu lagi, karena dengan tertangkapnya pilot itu, kedok AS dan CIA akhirnya terbuka. Kedok yang membuktikan AS melalui CIA sudah main api dengan petualangannya di balik pemberontakan separatisme di Indonesia.

Bahaya Imunisasi dan Konspirasi Yahudi

Merunut sejarah vaksin modern yang dilakukan oleh Flexner Brothers, kita dapat menemukan bahwa kegiatan mereka dalam penelitian tentang vaksinasi pada manusia didanai oleh Keluarga Rockefeller. Rockefeller sendiri adalah salah satu keluarga Yahudi yang paling berpengaruh di dunia, dan mereka adalah bagian dari Zionisme Internasional.

Mari Teliti Sebelum Membeli

Secara lahir, produk yang mengandung bahan berbahaya akan memberikan dampak yang merugikan bagi kesehatan. Sedangkan secara batin, mengkonsumsi produk tidak halal akan berdosa. Oleh karena itu konsumen perlu sekali memahami informasi tentang produk yang akan dikonsumsinya.

Sejarah Ringkas Muhammad ibn Abdil Wahhab Dan Gerakan Wahhabiyyah

Permulaan munculnya Muhammad ibn Abdil Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun 1143 H. Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah mulai tersebar di wilayah Nejd dan daerah-daerah sekitarnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab meninggal pada tahun 1206 H. Ia banyak menyerukan berbagai ajaran yang ia anggap sebagai berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Ajarannya tersebut banyak ia ambil atau tepatnya ia hidupkan kembali dari faham-faham Ibn Taimiyah yang sebelumnya telah padam, di antaranya; mengharamkan tawassul dengan Rasulullah, mengharamkan perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam lainnya dari para Nabi dan orang-orang saleh untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan dikabulkan oleh Allah, mengkafirkan orang yang memanggil dengan “Ya Rasulallah…!”, atau “Ya Muhammad…!”, atau seumpama “Ya Abdul Qadir…! Tolonglah aku…!” kecuali, menurut mereka, bagi yang hidup dan yang ada di hadapan saja, mengatakan bahwa talak terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan. Menurutnya talak semacam itu hanya digugurkan dengan membayar kaffarah saja, seperti orang yang bersumpah dengan nama Allah, namun ia menyalahinya.

Selain menghidupkan kembali faham-faham Ibn Timiyyah, Muhammad ibn Abdil Wahhab juga membuat faham baru, di antaranya; mengharamkan mengenakan hirz (semacam jimat) walaupun di dalamnya hanya terkandung ayat-ayat al-Qur’an atau nama-nama Allah, mengharamkan bacaan keras dalam shalawat kepada Rasulullah setelah mengumandangkan adzan. Kemudian para pengikutnya, yang kenal dengan kaum Wahhabiyyah, mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad. Hal ini berbeda dengan Imam mereka; yaitu Ibn Taimiyah, yang telah membolehkannya.

Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya di sekitar masa akhir kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:

“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada permulaannya adalah seorang penunut ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah salah seorang ahli ilmu, demikian pula saudaranya; Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab. Ayahnya, yaitu Syekh Abdul Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman, serta banyak dari guru-gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab ini akan membawa kesesatan. Hal ini karena mereka melihat dari banyak perkataan dan prilaku serta penyelewengan-penyelewengan Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri dalam banyak permasalahan agama. Mereka semua mengingatkan banyak orang untuk mewaspadainya dan menghindarinya. Di kemudian hari ternyata Allah menentukan apa yang telah menjadi firasat mereka pada diri Muhammad ibn Abdil Wahhab. Ia telah banyak membawa ajaran sesat hingga menyesatkan orang-orang yang bodoh. Ajaran-ajarannya tersebut banyak yang berseberangan dengan para ulama agama ini. bahkan dengan ajarannya itu ia telah mengkafirkan orang-orang Islam sendiri. Ia mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah, tawassul dengannya, atau tawassul dengan para nabi lainnya atau para wali Allah dan orang-orang, serta menziarahi kubur mereka untuk tujuan mencari berkah adalah perbuatan syirik. Menurutnya bahwa memanggil nama Nabi ketika bertawassul adalah perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi lainnya, atau memanggil para wali Allah dan orang-orang saleh untuk tujuan tawassul dengan mereka adalah perbuatan syirik. Ia juga meyakini bahwa menyandarkan sesuatu kepada selain Allah, walaupun dengan cara majâzi (metapor) adalah pekerjaan syirik, seperti bila seseorang berkata: “Obat ini memberikan manfa’at kepadaku” atau “Wali Allah si fulan memberikan manfaat apa bila bertawassul dengannya”. Dalam menyebarkan ajarannya ini, Muhammad ibn Abdil Wahhab mengambil beberapa dalil yang sama sekali tidak menguatkannya. Ia banyak memoles ungkapan-ungkapan seruannya dengan kata-kata yang menggiurkan dan muslihat hingga banyak diikuti oleh orang-orang awam. Dalam hal ini Muhammad ibn Abdil Wahhab telah menulis beberapa risalah untuk mengelabui orang-orang awam, hingga banyak dari orang-orang awam tersebut yang kemudian mengkafirkan orang-orang Islam dari para ahli tauhid” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 66).

Dalam kitab tersebut kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:

“Banyak sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah mengatakan bahwa dia akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak orang yang akan sesat karenanya. Mereka adalah orang-orang yang di hinakan oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Dan kemudian apa yang dikhawatirkan oleh guru-gurunya tersebut menjadi kenyataan. Muhammad ibn Abdil Wahhab sendiri mengaku bahwa ajaran yang ia serukannya ini adalah sebagai pemurnian tauhid dan untuk membebaskan dari syirik. Dalam keyakinannya bahwa sudah sekitar enam ratus tahun ke belakang dari masanya seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia mengaku bahwa dirinya datang untuk memperbaharui agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang turun tentang orang-orang musyrik ia berlakukan bagi orang-orang Islam ahli tauhid. Seperti firman Allah: “Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang berdoa kepada selain Allah; ia meminta kepada yang tidak akan pernah mengabulkan baginya hingga hari kiamat, dan mereka yang dipinta itu lalai terhadap orang-orang yang memintanya” (QS. al-Ahqaf: 5), dan firman-Nya: “Dan janganlah engkau berdoa kepada selain Allah terhadap apa yang tidak memberikan manfa’at bagimu dan yang tidak memberikan bahaya bagimu, jika bila engkau melakukan itu maka engkau termasuk orang-orang yang zhalim” (QS. Yunus: 106), juga firman-Nya: ”Dan mereka yang berdoa kepada selain Allah sama sekali tidak mengabulkan suatu apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1), serta berbagai ayat lainnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab mengatakan bahwa siapa yang meminta pertolongan kepada Rasulullah atau para nabi lainnya, atau kepada para wali Allah dan orang-orang saleh, atau memanggil mereka, atau juga meminta syafa’at kepada mereka maka yang melakukan itu semua sama dengan orang-orang musyrik, dan menurutnya masuk dalam pengertian ayat-ayat di atas. Ia juga mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau para nabi lainnya, atau para wali Allah dan orang-orang saleh untuk tujuan mencari berkah maka sama dengan orang-orang musyrik di atas. Dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan orang-orang musyrik saat mereka menyembah berhala: “Tidaklah kami menyembah mereka -berhala-berhala- kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (QS. al-Zumar: 3), menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang yang melakukan tawassul sama saja dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala yang mengatakan tidaklah kami menyembah berhala-berhala tersebut kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 67).

Pada halaman selanjutnya Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:

“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar dari Rasulullah dalam menggambarkan sifat-sifat orang Khawarij bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang turun tentang orang-orang kafir dan memberlakukannya bagi orang-orang mukmin. Dalam Hadits lain dari riwayat Abdullah ibn Umar pula bahwa Rasulullah telah bersabda: “Hal yang paling aku takutkan di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah seseorang yang membuat-buat takwil al-Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat al-Qur’an tersebut- bukan pada tempatnya”. Dua riwayat Hadits ini benar-benar telah terjadi pada kelompok Wahhabiyyah ini” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 68).

Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih dalam buku tersebut menuliskan pula:

“Di antara yang telah menulis karya bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab adalah salah seorang guru terkemukanya sendiri, yaitu Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, penulis kitab Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ Fadlal. Di antara tulisan dalam karyanya tersebut Syekh Sulaiman mengatakan: Wahai Ibn Abdil Wahhab, saya menasehatimu untuk menghentikan cacianmu terhadap orang-orag Islam” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 69).

Masih dalam kitab yang sama Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga menuliskan:

“Mereka (kaum Wahhabiyyah) malarang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan di atas menara-menara. Bahkan disebutkan ada seorang yang saleh yang tidak memiliki penglihatan, beliau seorang pengumandang adzan. Suatu ketika setelah mengumandangkan adzan ia membacakan shalawat atas Rasulullah, ini setelah adanya larangan dari kaum Wahhabiyyah untuk itu. Orang saleh buta ini kemudian mereka bawa ke hadapan Muhammad ibn Abdil Wahhab, selanjutnya ia memerintahkan untuk dibunuh. Jika saya ungkapkan bagimu seluruh apa yang diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah ini maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan untuk itu, namun setidaknya sekedar inipun cukup” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 77).

Di antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap orang yang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan adalah peristiwa yang terjadi di Damaskus Siria (Syam). Suatu ketika pengumandang adzan masjid Jami’ al-Daqqaq membacakan shalawat atas Rasulullah setelah adzan, sebagaimana kebiasaan di wilayah itu, ia berkata: “as-Shalât Wa as-Salâm ‘Alayka Ya Rasûlallâh…!”, dengan nada yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi yang sedang berada di pelataran masjid berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram, itu sama saja dengan orang yang mengawini ibunya sendiri…”. Kemudian terjadi pertengkaran antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-orang Ahlussunnah, hingga orang Wahhabi tersebut dipukuli. Akhirnya perkara ini dibawa ke mufti Damaskus saat itu, yaitu Syekh Abu al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus ini memanggil pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu Nashiruddin al-Albani, dan membuat perjanjian dengannya untuk tidak menyebarkan ajaran Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr mengancamnya bahwa jika ia terus mengajarkan ajaran Wahhabi maka ia akan dideportasi dari Siria.

Kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:

“Muhammad ibn Abdil Wahhab, perintis berbagai gerakan bid’ah ini, sering menyampaikan khutbah jum’at di masjid ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh khutbahnya ia selalu mengatakan bahwa siapapun yang bertawassul dengan Rasulullah maka ia telah menjadi kafir. Sementara itu saudaranya sendiri, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab adalah seorang ahli ilmu. Dalam berbagai kesempatan, saudaranya ini selalu mengingkari Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa yang dia lakukan, ucapakan dan segala apa yang ia perintahkan. Sedikitpun, Syekh Sulaiman ini tidak pernah mengikuti berbagai bid’ah yang diserukan olehnya. Suatu hari Syekh Sulaiman berkata kepadanya: “Wahai Muhammad Berapakah rukun Islam?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: “Lima”. Syekh Sulaiman berkata: “Engkau telah menjadikannya enam, dengan menambahkan bahwa orang yang tidak mau mengikutimu engkau anggap bukan seorang muslim”.

Suatu hari ada seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: “Berapa banyak orang yang Allah merdekakan (dari neraka) di setiap malam Ramadlan? Ia menjawab: “Setiap malam Ramadlan Allah memerdekakan seratus ribu orang, dan di akhir malam Allah memerdekakan sejumlah orang yang dimerdekakan dalam sebulan penuh”. Tiba-tiba orang tersebut berkata: “Seluruh orang yang mengikutimu jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh dari sepersepuluh jumlah yang telah engkau sebutkan, lantas siapakah orang-orang Islam yang dimerdekakan Allah tersebut?! Padahal menurutmu orang-orang Islam itu hanyalah mereka yang mengikutimu”. Muhammad ibn Abdil Wahhab terdiam tidak memiliki jawaban.

Ketika perselisihan antara Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh Sulaiman semakin memanas, saudaranya ini akhirnya khawatir terhadap dirinya sendiri. Karena bisa saja Muhammad ibn Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya ia hijrah ke Madinah, kemudian menulis karya sebagai bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab yang kemudian ia kirimkan kepadanya. Namun, Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak bergeming dalam pendirian sesatnya. Demikian pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis berbagai risalah bantahan terhadap Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mereka kirimkan kepadanya. Namun tetap Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak berubah sedikitpun.

Suatu ketika, salah seorang kepala sautu kabilah yang cukup memiliki kekuatan hingga hingga Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak dapat menguasainya berkata kepadanya: ”Bagaimana sikapmu jika ada seorang yang engkau kenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu agama berkata kepadamu bahwa di belakang suatu gunung terdapat banyak orang yang hendak menyerbu dan membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu pasukan berkuda untuk medaki gunung itu dan melihat orang-orang yang hendak membunuhmu tersebut, tapi ternyata mereka tidak mendapati satu orangpun di balik gunung tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu orang tersebut atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Saya akan membenarkan yang seribu orang”. Kemudian kepada kabilah tersebut berkata: ”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dalam karya-karya mereka telah mendustakan ajaran yang engkau bawa, mereka mengungkapkan bahwa ajaran yang engkau bawa adalah sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak tersebut dalam menyesatkan kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.
Terjadi pula peristiwa, suatu saat seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: ”Ajaran agama yang engkau bawa ini apakah ini bersambung (hingga Rasulullah) atau terputus?”. Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus tahun lalu, semua mereka adalah orang-orang musyrik”. Orang tadi kemudian berkata: ”Jika demikian ajaran yang engkau bawa ini terputus! Lantas dari manakah engkau mendapatkannya?” Ia menjawab: ”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khadlir”. Kemudian orang tersebut berkata: ”Jika demikian berarti tidak hanya kamu yang dapat wahyu ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu ilham. Sesungguhnya melakukan tawassul itu adalah perkara yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah memiliki dua pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul telah menjadi kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, h. 42-43).

Yang dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam keadaan syirik hingga enam ratus tahun ke belakang dari masanya ialah hingga tahun masa hidup Ibn Taimiyah, yaitu hingga sekitar abad tujuh dan delapan hijriyah ke belakang. Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu di abad tujuh dan delapan hijriyah dengan masa hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas hijriyah, semua orang di dalam masa tersebut adalah orang-orang musyrik. Ia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap bahwa hanya Ibn Taimiyah yang selaras dengan jalan dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah di masanya adalah satu-satunya orang yang menyeru kepada Islam dan tauhid di mana saat itu Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu ia mengangap bahwa hingga datang abad dua belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang melanjutkan dakwah Ibn Taimiyah tersebut. Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sungguh sangat sangat aneh, bagaimana ia dengan sangat berani mengakafirkan mayoritas umat Islam Ahlussunnah yang jumlahnya ratusan juta, sementara ia menganggap bahwa hanya pengikutnya sendiri yang benar-benar dalam Islam?! Padahal jumalah mereka di masanya hanya sekitar seratus ribu orang. Kemudian di Najd sendiri, yang merupakan basis gerakannya saat itu, mayoritas penduduk wilayah tersebut di masa hidup Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak mengikuti ajaran dan faham-fahamnya. Hanya saja memang saat itu banyak orang di wilayah tersebut takut terhadap dirinya, oleh karena prilakunya yang tanpa segan membunuh orang-orang yang tidak mau mengikuti ajakannya.

Prilaku jahat Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Amir ash-Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm. Pada awalnya, ash-Shan’ani memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abdil Wahhab, namun setelah ia mengetahui hakekat siapa Muhammad ibn Abdil Wahhab, ia kemudian berbalik mengingkarinya. Sebelum mengetahui siapa hakekat Muhammad ibn Abdil Wahhab, ash-Shan’ani memujinya dengan menuliskan beberapa sya’ir, yang pada awal bait sya’ir-sya’ir tersebut ia mengatakan:

سَلاَمٌ عَلَى نَجْدٍ وَمَنْ حَلّ فِي نَجْدِ وَإنْ كَانَ تَسْلِيْمِيْ عَلَى البُعْدِ لاَ يجْدِي

“Salam tercurah atas kota Najd dan atas orang-orang yang berada di dalamnya, walaupun salamku dari kejauhan tidak mencukupi”.

Bait-bait sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir (Dîwân) karya ash-Shan’ani sendiri, dan telah diterbitkan. Secara keseluruhan, bait-bait syair tersebut juga dikutip oleh as-Syaukani dalam karyanya berjudul al-Badr at-Thâli’, juga dikutip oleh Shiddiq Hasan Khan dalam karyanya berjudul at-Tâj al-Mukallal, yang oleh karena itu Muhammad ibn Abdil Wahhab mendapatkan tempat di hati orang-orang yang tidak mengetahui hakekatnya. Padahal al-Amir ash-Shan’ani setelah mengetahui bahwa prilaku Muhammad ibn Abdil Wahhab selalu membunuh orang-orang yang tidak sepaham dengannya, merampas harta benda orang lain, mengkafirkan mayoritas umat Islam, maka ia kemudian meralat segala pujian terhadapnya yang telah ia tulis dalam bait-bait syairnya terdahulu, yang lalu kemudian balik mengingkarinya. Ash-Shan’ani kemudian membuat bait-bait sya’ir baru untuk mengingkiari apa yang telah ditulisnya terdahulu, di antaranya sebagai berikut:

رَجَعْتُ عَن القَول الّذيْ قُلتُ فِي النّجدِي فقَدْ صحَّ لِي عنهُ خلاَفُ الّذِي عندِي
ظنَنْتُ بهِ خَيْرًا فَقُـلْتُ عَـسَى عَـسَى نَجِدْ نَاصِحًا يَهْدي العبَادَ وَيستهْدِي
لقَد خَـابَ فيْه الظنُّ لاَ خَاب نصـحُنا ومَـا كلّ ظَـنٍّ للحَقَائِق لِي يهدِي
وقَـدْ جـاءَنا من أرضِـه الشيخ مِرْبَدُ فحَقّق مِنْ أحـوَاله كلّ مَا يبـدِي
وقَـد جَـاءَ مِـن تأليــفِهِ برَسَـائل يُكَـفّر أهْلَ الأرْض فيْهَا عَلَى عَمدِ
ولـفق فِـي تَكْـفِيرِهمْ كل حُــجّةٍ تَرَاهـا كبَيتِ العنْكَبوتِ لدَى النّقدِ

“Aku ralat ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang yang berasal dari Najd, sekarang aku telah mengetahui kebenaran yang berbeda dengan sebelumnya”.
“Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata: Semoga kita mendapati dirinya sebagi seorang pemberi nasehat dan pemeberi petunjuk bagi orang banyak”
“Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah kehampaan belaka. Namun demikian bukan berarti nasehat kita juga merupakan kesia-siaan, karena sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan kepada ketaidaktahuan akan hakekat-hakekat”.
“Telah datang kepada kami “Syekh” ini dari tanah asalnya. Dan telah menjadi jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya tentang segala hakekat keadaannya dalam apa yang ia tampakkan”.
“Telah datang dalam beberapa tulisan risalah yang telah ia tuliskan, dengan sengaja di dalamnya ia mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi, -selain pengikutnya sendiri-”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi tersebut jika dibantah maka landasan mereka tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki kekuatan”.

Selain bait-bait sya’ir di atas terdapat lanjutannya yang cukup panjang, dan ash-Shan’ani sendiri telah menuliskan penjelasan (syarh) bagi bait-bait syair tersebut. Itu semua ditulis oleh ash-Shan’ani hanya untuk membuka hekekat Muhammad ibn Abdil Wahhab sekaligus membantah berbagai sikap ekstrim dan ajaran-ajarannya. Kitab karya al-Amir ash-Shan’ani ini beliau namakan dengan judul “Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.

Saudara kandung Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah kita sebutkan di atas, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, juga telah menuliskan karya bantahan kepadanya. Beliau namakan karyanya tersebut dengan judul ash-Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî al-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, dan buku ini telah dicetak. Kemudian terdapat karya lainnya dari Syekh Suliman, yang juga merupakan bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab dan para pengikutnya, berjudul “Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.

Kemudian pula salah seorang mufti madzhab Hanbali di Mekah pada masanya, yaitu Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi al-Hanbali, wafat tahun 1295 hijriyah, telah menulis sebuah karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih al-Hanâbilah”. Kitab ini berisi penyebutan biografi ringkas setiap tokoh terkemuka di kalangan madzhab Hanbali. Tidak sedikitpun nama Muhammad ibn Abdil Wahhab disebutkan dalam kitab tersebut sebagai orang yang berada di jajaran tokoh-tokoh madzhab Hanbali tersebut. Sebaliknya, nama Muhammad ibn Abdil Wahhab ditulis dengan sangat buruk, namanya disinggung dalam penyebutan nama ayahnya; yaitu Syekh Abdul Wahhab ibn Sulaiman. Dalam penulisan biografi ayahnya ini Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi mengatakan sebagai berikut:

“Dia (Abdul Wahhab ibn Sulaiman) adalah ayah kandung dari Muhammad yang ajaran sesatnya telah menyebar ke berbagai belahan bumi. Antara ayah dan anak ini memiliki perbedaan faham yang sangat jauh, dan Muhammad ini baru menampakan secara terang-terangan terhadap segala faham dan ajaran-ajarannya setelah kematian ayahnya. Aku telah diberitahukan langsung oleh beberapa orang dari sebagian ulama dari beberapa orag yang hidup semasa dengan Syekh Abdul Wahhab, bahwa ia sangat murka kepada anaknya; Muhammad. Karena Muhammad ini tidak mau mempelajari ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu agama lainnya) seperti orang-orang pendahulunya. Ayahnya ini juga mempunyai firasat bahwa pada diri Muhammad akan terjadi kesesatan yang sanat besar. Kepada banyak orang Syekh Abdul Wahhab selalu mengingatkan: ”Kalian akan melihat dari Muhammad ini suatu kejahatan…”. Dan ternyata memang Allah telah mentaqdirkan apa yang telah menjadi firasat Syekh Abdul Wahhab ini.

Demikian pula dengan saudara kandungnya, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, ia sangat mengingkari sepak terjang Muhammad. Ia banyak membantah saudaranya tersebut dengan berbagai dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits, karena Muhammad tidak mau menerima apapun kecuali hanya al-Qur’an dan Hadits saja. Muhammad sama sekali tidak menghiraukan apapun yang dinyatakan oleh para ulama, baik ulama terdahulu atau yang semasa dengannya. Yang ia terima hanya perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang dinyatakan oleh dua orang ini, ia pandang laksana teks yang tidak dapat diganggu gugat. Kepada banyak orang ia selalu mempropagandakan pendapat-pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sekalipun terkadang dengan pemahaman yang sama sekali tidak dimaksud oleh keduanya. Syekh Sulaiman menamakan karya bantahan kepadanya dengan judul Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb.

Syekh Sulaiman ini telah diselamatkan oleh Allah dari segala kejahatan dan marabahaya yang ditimbulkan oleh Muhammad, yang padahal hal tersebut sangat menghkawatirkan siapapun. Karena Muhammad ini, apa bila ia ditentang oleh seseorang dan ia tidak kuasa untuk membunuh orang tersebut dengan tangannya sendiri maka ia akan mengirimkan orangnya untuk membunuh orang itu ditempat tidurnya, atau membunuhnya dengan cara membokongnya di tempat-tempat keramaian di malam hari, seperti di pasar. Ini karena Muhammad memandang bahwa siapapun yang menentangnya maka orang tersebut telah menjadi kafir dan halal darahnya.

Disebutkan bahwa di suatu wilayah terdapat seorang gila yang memiliki kebiasaan membunuh siapapun yang ada di hadapannya. Kemudian Muhammad memerintahkan orang-orangnya untuk memasukkan orang gila tersebut dengan pedang ditangannya ke masjid di saat Syekh Sulaiman sedang sendiri di sana. Ketika orang gila itu dimasukan, Syekh Sulaiman hanya melihat kepadanya, dan tiba-tiba orang gila tersebut sangat ketakutan darinya. Kemudian orang gila tersebut langsung melemparkankan pedangnya, sambil berkata: ”Wahai Sulaiman janganlah engkau takut, sesungguhnya engkau adalah termasuk orang-orang yang aman”. Orang gila itu mengulang-ulang kata-katanya tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini jelas merupakan karamah” (as-Suhub al-Wâbilah Ala Dlara-ih al-Hanbilah, h. 275).

Dalam tulisan Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi di atas bahwa Syekh Abdul Wahhab sangat murka sekali kepada anaknya; Muhammad, karena tidak mau mempelajari ilmu fiqih, ini artinya bahwa dia sama sekali bukan seorang ahli fiqih dan bukan seorang ahli Hadits. Adapun yang membuat dia sangat terkenal tidak lain adalah karena ajarannya yang sangat ekstrim dan nyeleneh. Sementara para pengikutnya yang sangat mencintainya, hingga mereka menggelarinya dengan Syekh al-Islâm atau Mujaddid, adalah klaim laksana panggang yang sangat jauh dari api. Para pengikutnya yang lalai dan terlena tersebut hendaklah mengetahui dan menyadari bahwa tidak ada seorangpun dari sejarawan terkemuka di abad dua belas hijriyah yang mengungkap biografi Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan menyebutkan bahwa dia adalah seorang ahli fiqih atau seorang ahli Hadits.
Syekh Ibn Abidin al-Hanafi dalam karyanya; Hâsyiyah Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr menuslikan sebagai berikut:

“Penjelasan; Prihal para pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab sebagai kaum Khawarij di zaman kita ini. Pernyataan pengarang kitab (yang saya jelaskan ini) tentang kaum Khawarij: “Wa Yukaffirûn Ash-hâba Nabiyyina…”, bahwa mereka adalah kaum yang mengkafirkan para sahabat Rasulullah, artinya kaum Khawarij tersebut bukan hanya mengkafirkan para sahabat saja, tetapi kaum Khawarij adalah siapapun mereka yang keluar dari pasukan Ali ibn Abi Thalib dan memberontak kepadanya. Kemudian dalam keyakinan kaum Khawajij tersebut bahwa yang memerangi Ali ibn Abi Thalib, yaitu Mu’awiyah dan pengikutnya, adalah juga orang-orang kafir. Kelompok Khawarij ini seperti yang terjadi di zaman kita sekarang, yaitu para pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah memerangi dan menguasai al-Haramain; Mekkah dan Madinah. Mereka memakai kedok madzhab Hanbali. Mereka meyakini bahwa hanya diri mereka yang beragama Islam, sementara siapapun yang menyalahi mereka adalah orang-orang musyrik. Lalu untuk menegakan keyakinan ini mereka mengahalalkan membunuh orang-orang Ahlussunnah. Oleh karenanya banyak di antara ulama Ahlussunnah yang telah mereka bunuh. Hingga kemudian Allah menghancurkan kekuatan mereka dan membumihanguskan tempat tinggal mereka hingga mereka dikuasai oleh balatentara orang-orang Islam, yaitu pada tahun seribu dua ratus tiga puluh tiga hijriyah (th 1233 H)” (Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, j. 4, h. 262; Kitab tentang kaum pemberontak.).

Salah seorang ahli tafsir terkemuka; Syekh Ahmad ash-Shawi al-Maliki dalam ta’lîq-nya terhadap Tafsîr al-Jalâlain menuliskan sebagai berikut:

“Menurut satu pendapat bahwa ayat ini turun tentang kaum Khawarij, karena mereka adakah kaum yang banyak merusak takwil ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits Rasulullah. Mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-harta mereka. Dan kelompok semacam itu pada masa sekarang ini telah ada. Mereka itu adalah kelompok yang berada di negeri Hijaz; bernama kelompok Wahhabiyyah. Mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang benar dan terkemuka, padahal mereka adalah para pendusta. Mereka telah dikuasai oleh setan hingga mereka lalai dari mengenal Allah. Mereka adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah orang-orang yang merugi. Kita berdo’a kepada Allah, semoga Allah menghancurkan mereka” (Mir-ât an-Najdiyyah, h. 86). [AATT]

Mencegah Sebelum Parah

Jangan remehkan yang tampaknya sepele. Bermula dari yang kecil, dapat berkembang menjadi besar dan menakutkan. Bermula dari permainan game elektronik yang ada di HP, jika dibiarkan, dapat menjadi kecanduan game online beserta segala dampak buruknya. Ada dampak terkait dengan jenis game yang dimainkan, ada yang terkait dengan kegiatan bermain game itu sendiri. Berawal dari game online, seseorang dapat menjadi obsesif, agresif, tertantang berjudi, atau penyakit mental lainnya.

Kecanduan sendiri bertingkat-tingkat, tetapi semuanya membawa madharat dan menyingkirkan maslahat. Pada tingkat paling ringan, anak (bahkan orang dewasa) akan banyak membuang waktu yang bermanfaat untuk memburu keasyikan dan menuruti fantasi. Pada tingkat yang lebih berat, banyak cerita yang dapat saya sampaikan betapa anak yang sangat cemerlang kecerdasannya pun bisa berubah 180 derajat. Pun seorang suami yang penuh tanggung-jawab dapat kehilangan perhatiannya. Ia hanya sibuk menuruti keasyikannya bermain game online, lupa anak lupa istri. Dalam keadaan seperti itu, jangan tanya ibadah sunnah kepadanya.

Saya perlu sampaikan ini karena belakangan kasus kecanduan game online semakin merebak dimana-mana. Tak sedikit yang justru menimpa keluarga orang-orang yang memiliki perhatian besar terhadap agama. Saya juga merasa amat perlu menulis ini agar kita tidak merasa tenang hanya karena yang mulai asyik bermain game itu anak yang sudah kuliah atau remaja putri. Kecanduan game dapat menimpa siapa saja, laki-laki maupun perempuan. Dalam sebuah kasus, seorang mahasiswi terbengkalai skripsinya karena kecanduan game.

Saya tidak berbicara secara rinci tentang berbagai kondisi kecanduan. Mudah-mudahan lain waktu saya dapat membahasnya. Saya hanya ingin menunjukkan sebagian keadaan. Pada tingkat yang cukup parah, kecanduan game dapat memicu sikap ofensif, yakni kecenderungan untuk menyerang orang lain. Lebih-lebih jika ia merasa terganggu, baik karena dinasehati atau karena ia merasa tidak nyaman saja dengan kegiatan orang lain, meskipun itu saudara kandungnya. Anaknya yang sebelumnya manis, lembut perangainya dan suka membantu, dapat sontak berubah menjadi kasar dan ringan lidah untuk membentak, meski terhadap ibunya.

Tentu saja tidak akan muncul sikap ofensif kecuali apabila selfish (hanya sibuk dengan dirinya sendiri, mirip egoisme) menguat. Membentak dan menyerang secara lisan merupakan bentuk perilaku ofensif yang masih relatif ringan. Yang lebih parah adalah tindakan fisik. Dan karena yang bersangkutan sedang kehilangan kendali bersebab pikiran dan emosinya dikuasai game, maka perilaku ofensif ini dapat ditujukan kepada siapa saja, termasuk orangtua. Padahal dalam kondisi normal, dia tidakakan melakukannya.

Jika tidak segera memperoleh penanganan, anak dapat memiliki kecenderungan destruktif (merusak, menghancurkan). Terlebih jika jenis game online yang ia sukai termasuk jenis ini, semisal perang. Jika perilaku ofensif ditujukan kepada siapa pun yang membuatnya merasa terganggu, meskipun orang itu sebenarnya tidak mengganggu dia, maka kecenderungan destruktif ini mendorong dia untuk merusak atau bahkan menghancurkan (milik) orang lain. Boleh jadi ia menujukan tindakan tersebut kepada orang yang tidak disukainya, atau ia rasa mengganggu. Boleh jadi ia berlaku destruktif kepada siapa pun disebabkan ia sudah dikendalikan oleh waham akibat game. Inilah yang disebut obsesif.

Yang sangat mengkhawatirkan adalah tingkatan kecanduan game online yang menyebabkan seseorang terputus secara mental dari lingkungan sosialnya. Ia bersikap asosial. Ia tak lagi dapat bergaul secara wajar dengan orang lain, kehilangan kepekaan, tak peduli orang lain terganggu oleh keadaan dirinya dan bahkan ia lupa diri sendiri. Ada orang yang mampu berhari-hari bermain game non stop di Warnet (tidak mandi dan tentu saja tidak shalat), tapi masih dapat berinteraksi dengan orang lain secara relatif wajar. Tetapi anak –bahkan orang dewasa— yang sudah sampai pada tingkat asosial, ia dapat berminggu-minggu tidak mandi karena tenggelam dalam game online maupun fantasi saat ia sedang tidak bermain game. Anak yang sudah mengalami gejala asosial bersebab kecanduan game, saat bersama orang lain pun tidak dapat berinteraksi secara wajar. Sebagian bahkan nyaris tak dapat berinteraksi sama sekali.

Ini tentu saja sangat tidak kita kehendaki. Alangkah sia-sia mendidik mereka bertahun-tahun jika harus hancur oleh game online dalam waktu beberapa bulan saja. Tak ada artinya kecerdasan mereka yang cemerlang, prestasi mereka yang menakjubkan dan berbagai keunggulan lainnya jika harus musnah oleh permainan yang kita beli sendiri alatnya. Karena itu, justru sebagai bentuk kasih-sayang terhadap anak, kita harus mencegah mereka dari berdekat-dekat dengan game online yang dapat menjadikan mereka kecanduan.

Dari beberapa kasus yang saya temui, kecanduan game online yang sampai pada tingkat sangat parah, umumnya terjadi karena orangtua tidak sigap mencegah saat anak sudah mulai menunjukkan gejala bermasalah, serta tidak ada ketegasan orangtua dalam melarang. Tak ada konsistensi sikap. Mungkin orangtua marah, meledak-ledak sesaat, tetapi sesudah itu aturannya dapat ditawar oleh anak. Sementara ketika anak sudah benar-benar kecanduan, rasa kasihan orangtua terhadap anak kadang salah sasaran. Seharusnya rasa kasihan terhadap masa depannya dapat membuat ibu mengambil sikap tegas tanpa kompromi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia memberi kesempatan lagi, lagi dan lagi karena tidak tega melihat anaknya menderita.

Sesungguhnya, cukuplah orangtua dianggap tega dan kejam apabila ia membiasakan anaknya hidup mudah serta membiarkan anak menikmati kesenangan yang merusak masa depannya.

Dalam kasus anak sudah benar-benar kecanduan, terlebih sampai tingkat destruktif atau asosial, salah satu fase yang dilalui dalam proses terapi oleh profesional maupun penghentian kecanduan oleh pihak keluar memang sakauw. Anak terlihat sangat menderita karena ia dijauhkan dari apa yang membuatnya asyik. Anak tampak sangat linglung, frustrasi, teriak-teriak atau menangsi sendiri merupakan hal yang wajar. Obatnya adalah didampingi atau dibiarkan dulu dengan pengawasan. Bukan diberi kesempatan untuk bermain game lagi.

Fase sakauw ini bisa sebentar bisa lama, tergantung tingkat kecanduannya dan kondisi lingkungan saat anak menjadi pemulihan. Setelah fase sakauw berlalu, anak akan berusaha untuk menerima kenyataan berupa hidup tanpa game. Tapi pada fase ini anak masih rentan kambuh kecanduannya, sehingga tetap perlu dijauhkan dari perangkat yang dapat memancing ia untuk bermain game lagi, meski itu hanya berupa HP yang ada game-nya.

Saya tidak berpanjang-panjang tentang ini. Saya hanya ingin mengajak Anda semua, juga diri saya sendiri, untuk berhati-hati. Mencegah itu jauh lebih baik daripada mengobatinya sesudah parah. [mfa]

Natal, Intoleransi dan Budaya Konyol Di Indonesia

Kebenaran Natal    

Kata Christmas (Natal) yang diartikan sebagai Mass of Christ atau disingkat dengan Christ-Mass adalah sebuah hari dimana dirayakan kelahiran dari “Yesus”. Biasanya rutin dilaksanakan setiap tanggal 25 Desember pada tiap tahunnya. Berbagai aktivitas pun dilakukan untuk memperingati hari ini seperti doa bersama, pesta, pohon natal, dan sejenisnya. Perayaan yang dilakukan oleh orang-orang kristen bahkan orang-orang non-kristen ini berasal dari ajaran Gereja Kristen Katolik Roma.

Pada dasarnya perintah untuk menyelenggarakan Natal tidak pernah ada dalam Bibel. Perayaan Natal baru masuk dalam ajaran Kristen Katolik pada abad ke-4 M. Dan peringatan inipun sebenarnya merupakan hasil dari proses Sinkretisme (Penggabungan dua agama) antara Kristen Katolik dan juga budaya Paganis Politheisme Imperium Romawi pada saat itu. Ketika Kaisar Konstantin menjadi penganut Kristen Katolik, ia tetap tidak mampu meninggalkan adat atau kepercayaannya terhadap budaya pagannya, apalagi terhadap pesta rakyat untuk memperingati hari kelahiran Dewa Matahari pada tanggal 25 Desember.

Karena itulah agar agama Katolik bisa diterima dan masuk ke tengah-tengah masyarakat Romawi maka dilakukanlah proses Sinkretisme tadi yakni dengan cara menyatukan perayaan kelahiran dari Sun of God (Dewa Matahari) dengan kelahirannya Son of God (Yesus). Kemudian pada konsili tahun 325, Kaisar Konstantin memutuskan untuk menetapkan bahwa tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran dari Yesus. Sesudah Kaisar Konstantin memeluk agama Katolik dan melakukan penyatuan kedua agama melalui proses Sinkretisme tadi, maka rakyat pun beramai-ramai memeluk agama Katolik. Bisa dikatakan ini adalah sebuah prestasi gemilang dari hasil proses Sinkretisme oleh Kaisar Konstantin dengan agama Paganisme Politheisme nenek moyang mereka. Pada akhirnya semenjak tahun 1100, Natal telah menjadi perayaan keagamaan terpenting di banyak negara-negara Eropa.

Budaya Latah dan Konyol ?

Sudah menjadi kebiasaan kalau tidak dikatakan budaya yang mengakar dan menyebar di rakyat Indonesia bahwa pesta atau perayaan terhadap satu momen itu sangatlah penting. Tidak hanya sampai di situ, rakyat Indonesia juga sangat terbiasa bahkan terbudayakan untuk memperingati berbagai hari-hari perayaan walau itu berasal dari asing.

Misalkan saja ketika kita masuk di pertengahan bulan Desember yakni minggu-minggu jelang 25 Desember, hari perayaan Natal. Kita bisa merasakan atmosfir yang terbentuk di sekitar kita ditujukan untuk memperingati dan menyambut datangnya perayaan Natal. Di jalan-jalan penuh dengan iklan ucapan selamat Natal, pergi ke pusat perbelanjaan maka kita disuguhi dengan suasana menyambut Natal mulai dari para karyawannya yang berpakaian seperti Santa Klaus, lagu-lagu rohani Kristen, dekorasi pohon Natal yang dihiasi dengan hiasan sedemikian rupa, dan lainnya. Bahkan media pun tidak lupa untuk mem-blow up akan perayaan Natal ini sedemikian rupa, disuguhi lah masyarakat Indonesia dengan film-film bernuansa Kristen dan Paganisme  Politheisme.

Kemudian ketika di akhir tahun, jelang tanggal 1 Januari. Kita mendengar bagaimana ramainya orang membicarakan apa yang ingin ia lakukan ketika tahun baru nanti, berpesta-pora menyambut tahun baru. Tahun baru memang dikatakan sebagai sebuah hari suci bagi umat Kristen di seluruh penjuru dunia, setiap tahun baru banyak orang di seluruh penjuru dunia keluar dari rumahnya kemudian meniupkan terompet, menyalakan kembang api, berpesta pora, dan mengucapkan “Happy New Year”. Hakikatnya, budaya ini telah lama dirayakan oleh orang-orang Yahudi jauh sebelum umat Kristiani merayakannya. Dan sekali lagi, di akhir tahun Indonesia benar-benar menjadi sebuah negeri yang  mayoritas muslim mendadak menjadi sangat kental ke-yahudi-annya.

Inilah fakta yang memprihatinkan dari sebuah bangsa yang ultra-latah. Bangsa yang ultra-latah ini akan sangat mengagungkan kebudayaan-kebudayaan dari asing di luar sana yang dianggapnya sebagai negeri maju dan berjaya, maka kemudian begitu mudahnya larut dengan budaya Natal, tahun baru, valentine, April mob, dan lainnya ke negeri kita. Hingga negeri ini memang pantas dikatakan sebagai sebuah negeri yang terjajah, mungkin tidak dijajah secara fisik namun tentu dijajah secara pemikiran. Benarlah jika dikatakan bahwa negeri yang terjajah akan mengikuti apapun yang dilakukan oleh negeri yang menjajahnya, termasuk kebudayaannya.

Mari kita pikirkan, apa hubungannya dengan mencontoh perayaan natal di bulan Desember, tahun baru di awal tahun pada bulan Januari, hari kasih sayang atau dikenal dengan hari Valentine pada pertengahan bulan Februari, april mob pada awal april, dan seterusnya dengan kemajuan yang mungkin bisa diperoleh oleh negeri yang mencontoh perayaan hari-hari tersebut? Tentu sama sekali tidak ada hubungannya. Lalu mengapa tetap dilakukan oleh rakyat Indonesia? Ya, inilah budaya ultra-latah dari masyarakat  Indonesia, sebuah budaya konyol.

Siapa Yang Intoleransi?

Natal merupakan perayaan yang seharusnya dikhususkan hanya untuk kaum-kaum Kristen namun berbeda dengan Indonesia. Berkat budaya latah serta pemikiran-pemikiran ‘nyeleneh’ dari segelintir orang maka Natal pun diopinikan sebagai sebuah ritual bersama bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat ia seorang yang beragama Kristen atau tidak. Termasuk walaupun ia adalah seorang muslim.

Di satu kesempatan Nafsiah Mboy, Ketua Panitia Perayaan Natal Nasional sekaligus Menteri Kesehatan Indonesia usai bertemu dengan Presiden SBY, ia menyatakan bahwa Presiden SBY dan Wapres Budiono akan turut menghadiri perayaan puncak Natal Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 27 Desember nanti. Mboy juga menyatakan bahwa presiden berharap penyelenggaraan puncak perayaan Natal 2012 ini bersifat inklusif, dan dapat dirasakan semua pihak, tidak hanya umat Kristiani. (antaranews.com, 7/12)

Pada kesempatan lain, mantan wakil presiden Jusuf Kalla yang notabene juga adalah seorang muslim menyampaikan dengan jelas ucapan selamat Natalnya pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pernyataan ini diucapkan bersamaan dengan kunjungannya ke NTT, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. (voa-islam.com, 21/12)

Entah karena ketidak tahuan atau kesengajaan yang sengaja dilakukan dengan berbagai tujuan politisnya. Yang pasti  bisa mengedukasi pendangkalan aqidah umat muslim. Bagaimana tidak ? Melihat bagaimana ritual natal ini dijadikan sebagai sebuah ritual bersama yang bahkan dianjurkan sekali untuk juga dilakukan oleh umat muslim, minimal sekedar mengucapkan selamat natal dengan dalih toleransi, pluralism dan bahasa manipulative lainnya.

Bagi pemeluk beragam Kristen sah-sah saja merayakan Hari Natal ini. Tapi mempromosikan perayaan ini sedemikian rupa kemudian memberlakukannya untuk dan agar diikuti oleh semua rakyat Indonesia baik ia beragama Kristen atau bukan. Hakikatnya ini adalah tindakan intoleransi terhadap umat muslim. Kita lihat saja fakta di super market dan mall-mall serta pusat perbelanjaan lainnya yang tentu saja mayoritas pengunjungnya adalah umat muslim kemudian disuguhkan dengan lagu-lagu rohani umat Kristen terus menerus. Bahkan karyawan-karyawan sampai satpam tempat-tempat tadi yang mayoritas bahkan kita yakin ia beragama Islam, mereka diharuskan untuk memakai atribut Natal seperti topi Santa Claus, bajunya, dan lainnya.

Umat muslim pun diseru untuk mengucapkan selamat Natal bahkan bila perlu juga ikut merayakan dan memfasilitasi perayaannya. Ya, semua itu di bungkus dengan pujian menyesatkan bahwa umat muslim adalah umat yang tingkat toleransinya tinggi serta benar-benar nyata ikut berperan penting dalam menjaga kerukunan antar umat beragama. Konyolnya lagi jika umat muslim tidak melakukannya maka cap anti non-muslim, dan intoleran pun dilekatkan dengan sangat kuat.

Islam Menjaga Aqidah Umat Islam dan Menghargai Non Muslim

Dalam sebuah dialog menarik yang tersebar di berbagai situs internet serta jejaring sosial, ada pelajaran yang sangat baik pada dialog ini. Berikut cuplikannya :

Muslim: Bagaimana Natalmu?

David  : Baik, kau tidak mengucapkan Selamat Natal padaku? .....

Muslim: Tidak, agama kami menghargai toleransi antar agama, termasuk agamamu, tapi masalah ini, agama saya melarangnya.

David  : Tapi kenapa, bukankah hanya sekedar kata-kata? Teman muslimku yang lain mengucapkannya padaku.

Muslim: Mungkin mereka belum mengetahuinya. David, kau bisa mengucapkan “Dua kalimat syahadat”?

David : Oh tidak, saya tidak bisa mengucapkannya. Itu akan mengganggu kepercayaan saya.

Muslim: Kenapa? Bukankah hanya kata-kata? Ayo, ucapkanlah.

David  : Sekarang, saya mengerti.

Dialog ini menggambarkan dengan sangat baik kepada kita tentang hubungan antara muslim dan non-muslim, khususnya berkaitan dengan Hari Natal ini. Logika yang sederhana namun cerdas cukup menggambarkan kepada kita bagaimana seharusnya hubungan antara kedua umat yang berbeda keyakinan ini.Sementara hari ini banyak orang yang dianggap “tokoh” masyarakat level Nasional/Lokal dari kalangan muslim karena sebab kebodohannya tampil sok humanis, pluralis, wisdom, menjadi pahlawan, pemimpin hebat kemudian mengucapkan “selamat natal” kepada umat kristiani tanpa disadari hal tersebut telah merusak akidah dirinya dan umat Islam.Tentu ini menabrak tuntunan Allah swt dan RasulNya.Sosok muslim yang kehilangan jati diri, “muslim KTP” yang eksis terlepas dari pakem dan manhaj hidup yang digariskan Rasulullah SAW.

Setidaknya ada 4 (empat) alasan mengapa aturan Islam melarang umatnya untuk mengucapkan selamat natal apalagi ikut merayakannya :

Pertama, Hari Natal bukanlah perayaan kaum Muslim. Rasulullah telah menjelaskan dengan sangat tegas bahwasanya perayaan bagi Kaum Muslim hanya ada 2, yakni ketika Idul Fitri dan juga Idul Adha. Anas bin Malik RA berkata : “Ketika Rasulullah datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa Jahiliyah. Maka beliau berkata : Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian yaitu hari raya kurban (Idul Adha) dan hari raya Idul Fitri. (HR. Ahmad)

Telah jelas disampaikan oleh Rasulullah bahwa bagi umat muslim yang mengaku dirinya muslim dan beriman kepada Allah dan RasulNya maka baginya hanya ada dua hari perayaan besar disepanjang tahun. Tentu sebagai muslim yang taat, cukuplah petunjuk Nabi Muhammad Saw menjadi sebaik-baiknya petunjuk dan hanya itu yang kita jadikan panutan, dan cukuplah hanya yang berasal dari Allah dan RasulNya.

Kedua, mengucapkan Selamat Natal dan ikut merayakannya bahkan memfasilitasinya saja sama dengan menyetujui kekufuran orang-orang yang merayakan natal. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “selamat” artinya terhindar dari bencana, aman sentosa; sejahtera tidak kurang suatu apa; sehat; tidak mendapat gangguan, kerusakan dsb; beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal. Dengan begitu ucapan selamat artinya adalah doa (ucapan, pernyataan, dsb) yang mengandung harapan supaya sejahtera, tidak kurang suatu apa, beruntung, tercapai maksudnya, dsb.

Natal adalah sebuah perayaan kelahiran Yesus Kristus (Nabi Isa al-Masih as) yang dalam pandangan umat Kristen saat ini ia adalah anak Tuhan dan Tuhan anak serta meyakini ajaran Trinitas. Lalu bagaimana bisa seorang muslim yang bertolak belakang dan jelas berbeda pemahamannya mengenai Nabi Isa mendoakan kaum Kristen keselamatan atas apa yang mereka pahami tadi? Padahal dengan sangat jelas Allah menyatakan mereka sebagai orang kafir (QS. Al-Maidah : 72-75) yang tentu di akhirat kelak akan dijatuhi hukuman neraka nan pedih.

Umat Islam meyakini bahwa Nabi Isa adalah utusan Allah ke dunia, bukan anak apalagi Tuhan. Karena Demi Allah, Allah SWT tidaklah diperanakkan dan tidak beranak, ia Maha Esa dan Maha Kuasa, tak ada satupun yang mampu menandinginya bahkan tiada yang pantas untuk sekedar disamakan denganNya. Mengucapkan selamat Natal dan bahkan ikut merayakannya sama saja dengan mengakui apa yang dipahami oleh umat Kristen, dan sudah tentu itu adalah sebuah tindak kekufuran yang nyata yang bisa membuat pelakunya jatuh kepada kekafiran.

Ketiga, merupakan sikap loyal (wala) yang salah dan keliru. Loyal tidaklah sama dengan berbuat baik. Wala memiliki arti loyal, menolong, atau memuliakan orang yang kita cintai, sehingga apabila kita wala terhadap seseorang, akan tumbuh rasa cinta kepada orang tersebut. Oleh karena itulah, kekasih-kekasih Allah disebut pula sebagai wali-wali Allah.

Ketika kita mengucapkan selamat Natal, hal itu tentu dapat menumbuhkan rasa cinta kita perlahan-lahan kepada mereka. Mungkin sebagian kita mengingkari, yang diucapkan hanya sekedar lisan saja. Namun, seorang muslim secara tegas diperintahkan untuk mengingkari sesembahan-sesembahan orang kafir (QS. Al-Mumtahanah : 4). Bahkan Rasulullah pun dengan jelas mencontohkan kepada kita bagaimana Rasulullah dengan tegas mengingkari patung-patung sesembahan orang-orang kafir jahiliyah dan menghina sesembahan mereka serta menyampaikan bahwa yang patut disembah hanyalah Allah SWT dan Dia tidak perlu suatu perantara apapun.

Keempat, aktivitas mengucapkan Selamat Natal dan ikut merayakannya atau sekedar memfasilitasinya adalah aktivitas menyerupai orang kafir. Tentu bukan sesuatu yang aneh lagi jika pada faktanya ada sebagian muslim yang ternyata turut berpartisipasi dalam perayaan natal. Ketika di pasar-pasar, super market, mall-mall dan pusat perbelanjaan lainnya ada sebagian kaum muslim yang berpakaian dengan pakaian khas perayaan natal. Padahal Rasulullah Saw dengan tegas telah melarang kaum muslim untuk menyerupai kaum kafir. Sabda Rasulullah Saw : “ Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Alasan terpaksa karena pekerjaan atau takut dipecat menjadi alasan klasik yang kerap kali menjadi pembenaran untuk sebagian kaum muslim demi melakukan aktivitas menyerupai kaum kafir tadi. Padahal pekerjaan dan dipecat tidak ada hubungannya dengan rezeki yang Allah berikan, hal tersebut adalah sesuatu yang berbeda. Justru apakah demi segepok uang kita rela menggadaikan aqidah kita hingga kemudian kehilangan tempat di surga dan masuk ke neraka Allah SWT yang siksanya luar biasa pedih. Tidak adakah rasa takut terhadap hal tersebut hingga berani menggadaikan aqidah kita? Sesungguhnya Allah pasti akan mempermudah jalan hambaNya yang berusaha sekuat tenaga untuk taat pada aturanNya, termasuk mempermudah rezekinya.

Inilah alasan-alasan mengapa Natal tidak boleh ikut dirayakan oleh Kaum Muslim atau sekedar mengucapkannya. Walau begitu, bukan berarti Islam tidak toleran terhadap agama yang lain. Islam melakukan sebuah tindakan penjagaan aqidah umatnya yang memang menjadi ruh dan pondasi dari agama itu sendiri, dan kepada umat non-muslim yang lain, aturan Islam adalah aturan yang paling toleran dan tentunya menghargai perbedaan antar keyakinan beragama.

Islam tidak akan pernah memaksakan keyakinannya kepada pemeluk agama lain, bahkan sekedar mengganggunya. Karena sesungguhnya tidak ada paksaan untuk masuk pada Islam dan meyakininya. Bahkan dalam sistem negara islam yakni Khilafah Islamiyah yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, mereka-mereka yang beragama selain Islam menerima perlakuan yang baik dan penghargaan yang luar biasa. Diperbolehkan bagi mereka melaksanakan keyakinan beragama mereka tanpa ada gangguan sedikitpun  tentunya dengan aturan tertentu, dan sekali lagi tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk pada Islam bahkan walau mereka berada di tengah-tengah negeri yang menerapkan aturan  Islam, Islam tidak akan pernah mengganggu mereka termasuk dalam perkara aqidah mereka. Karena itu Islam adalah agama yang toleran dan paling menghargai kepada agama selain Islam, namun tentu menolak pemahaman Pluralisme dan Sinkretisme yang merupakan satu pemahaman sesat dan tak layak diterima. Wallahu a’lam bi ash shawab.[AA]

Freeport Adalah VOC Masa Kini

PT Freeport Indonesia adalah satu-satunya korporasi penjajah yang masih eksis dan terjaga di tanah Papua Barat, Indonesia. Neo kolinialisme adalah sebutan yang sangat tepat untuk menggambarkan korporasi pengeruk emas terbesar di Indonesia ini. Bahkan pengerukan tambang Grasberg, yang merupakan tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia ini, tidak hanya mengeruk tanah tetapi juga mengeruk kemerdekaan rakyat Papua. Akan tetapi apakah ada perbedaan antara neo kolonialisme dan kolonialisme?

Jika kita melihat ke sejarah bangsa Indonesia, kita pasti sangat ingat dengan kolonialisme yang dilakukan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Jika dilihat dari pola sistem penjajahan, VOC di Nusantara dapat dikatakan tidak secara langsung menjajah Indonesia, karena VOC menjajah kita lewat para penguasa pribumi. Para pejabat pribumi inilah yang membiarkan bahkan menjaga agar VOC dapat dengan leluasa menguras rempah-rempah dari tanah Nusantara.

Coba bandingkan VOC yang dahulu menjajah Nusantara dan didukung oleh pejabat pribumi, dengan Freeport yang saat ini masih bebas mengeruk tanah Papua dan dibiarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Jika dilihat dari sisi ini, jelas tidak ada bedanya antara Freeport dan VOC! Keduanya adalah korporasi penjajah yang didukung oleh penguasa pribumi. Perbedaanya hanya pada masanya, VOC didukung oleh penguasa pribumi, sedangkan Freeport sekarang didukung oleh pemerintah Indonesia.

Selain perbedaan komoditas, hanya perbedaan jaman yang membedakan antara kolonialisme ala VOC (rempah-rempah) dan neo kolonialisme ala Freeport (emas).

Akan tetapi, bukankah katanya Indonesia sudah merdeka? Mengapa masih ada korporasi penjajah seperti Freeport yang mengeruk emas dari tanah Papua? Bukankah Irian atau Papua Barat adalah bagian dalam NKRI yang sudah merdeka? Jika sudah merdeka, mengapa Papua masih dijajah oleh Freeport? Mengapa pemerintah RI membiarkan penjajahan Freeport terhadap tanah Papua?

Bukan bermaksud menuduh, tapi dari film dokumenter Alkinemokiye ada salah satu fakta yang menarik yang mengundang pertanyaan. Disebutkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, Freeport mengeluarkan dana Rp 711 Miliar untuk uang keamanan yang diberikan kepada para aparat pemerintah RI. Untuk apa Freeport memberikan uang sebesar itu kepada aparat pemerintah RI? Tentu saja untuk mengamankan penjajahan Freeport di tanah Papua!

Fakta lain dalam Alkinemokiye yang juga tidak kalah menarik adalah demo terbesar yang dilakukan buruh Freeport, pada 15 September 2011. Disebutkan 8.000 dari 22.000 pekerja Freeport Indonesia melakukan aksi mogok menuntut kenaikan upah dari US $3,5/jam menjadi US $7,5/jam. Akan tetapi bukan kenaikan gaji yang mereka dapat, malah beberapa kawan mereka yang mati ditembak oleh penembak misterius. Setidaknya sejak bulan Juli 2009 sampai dengan bulan November 2011, 11 buruh dan sub-kontraktor Freeport, mati secara misterius.

Film Alkinemokiye bahkan sempat dilarang diputar dalam acaraScreen Below The Wind Festival di Ubud, Bali, pada 16 November 2012 kemarin. Pelarangan ini langsung dilakukan oleh polisi dari Polda Ubud, yang langsung berjaga disekitar tempat SBWFestival berlangsung. Meskipun keadaan festival film dokumenter se-ASEAN itu sempat menjadi tegang, akhirnya acara langsung dilanjutkan dengan diskusi dengan sutradara film dokumenter Alkinemokiye, Dandhy Dwi Laksono. Mungkin karena kedatangan dan pencekalan polisi juga, Film Alkinemokiye akhirnya menjadi film dokumenter terfavorit dalam acara SBWFest.

Bisa kita lihat, Freeport yang sudah membayar uang keamanan kepada aparat pemerintah, sangat khawatir dengan kebenaran dalam Alkinemokiye. Sehingga film dokumenter Alkinemokiye, yang bercerita tentang perjuangan buruh Freeport, dicekal pemutarannya dalam SBWFestival. [BD/Bo]

Benarkah Syiah Serius akan Bebaskan al-Quds?

Semenjak tahun 2006, ketika Hizbullah Libanon mengalahkan mesin perang Israel dan mampu mengusir mereka keluar dalam perang 33 hari, berita ini akhirnya menjadi komoditas dan merek dagang baru jualan Syiah untuk banyak mengelabui umat Muslim yang mayoritas mutlak berakidah Ahlusunnah wal jamaah.

Jauh sebelumnya memang sudah pernah ada usaha Syiah untuk mengeksploitasi isu Palestina ini misalnya dengan fatwa Imam Khomeini, Rahbar Iran, yang menetapkan hari jumat terakhir bulan Ramadhan sebagai Hari Al-Quds Internasional. Namun sepertinya, tidak begitu berpengaruh dan ‘ngefek’ untuk menarik simpati kaum muslimin sunni untuk melirik akidah Syiah.

Baru setelah kisah heroism perlawanan milisi Hizbullah tahun 2006 itulah, terjadi titik balik fitnah tasyayyu di dunia Islam terutama di Syam (Mesir, Suriah, Libanon dan Yordania) dan Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia).

Hanya karena sekali peristiwa perlawanan Syiah terhadap Zionis-Israel, yang sebelumnya selalu bekerjasama menghancurkan perlawanan bangsa Palestina, yang lebih didorong faktor politis untuk menguasai Selatan Libanon sebagai basis milisi Syiah secara nasional dengan tidak menyatakan kepentingan perang itu demi Palestina.

Sekali lagi, hanya karena sekali itu saja, kita lalu dibuat –akibat bombardir media massa pro Syiah di dunia- buta dan tidak kenal sama sekali kepahlawanan para tokoh-tokoh pejuang Sunni yang puluhan ribu gugur untuk membela isu Al-Quds dan Masjidil Aqsha.

Nama besar seperti Hasan Al-Banna, Mustafa Siba’I, Ahmad Yassin, Abdul Aziz Rantisi, Yahya Ayyash, dan sederet martir-martir Ahlusunnah lenyap sirna seolah tertelan dan tenggelam oleh kehebatan sosok milisi Hizbullah dengan pemimpinnya Hasan Nasrallah.

Waktu itu, saya pun ikut mengagumi Nasrallah, sambil tetap mengenal baik jasa-jasa martir Sunni di kepala saya. Sehingga doa selalu kami kirim untuk arwah mereka.
Namun tidak sedikit, kawan-kawan saya wartawan media massa sudah termakan jualan Syiah ini. Sambil meledek saya, ada yang berkata, mana orang-orang Sunni yang seberani Hizbullah dan Ahmadinejad menentang dan menantang Israel dan AS?

Subhanallah, dia lupa akan nama-nama tadi dan jadi korban media-media Syiah yang rajin membombardir kita dengan Hizbullah sehingga kita lupa terhadap jasa para martir Ahlusunnah.

Selain faktor media itu dan kondisi memalukan dari sikap politik resmi rejim pemerintahan Negara-negara sunni yang lebih tunduk kepada tekanan AS dan ikut memusuhi Hamas, tidak banyak yang mengetahui bagaimana sebenarnya sikap keimanan Syiah terhadap Al-Quds dan Masjidil Aqsha, baik dari kalangan para mufasirnya maupun dari kalangan ulama akidah yang menjadi marja’ utama kaum Syiah di dunia.

Masjidil Aqsha dalam Literatur Syiah

Seorang peneliti masalah-masalah Syiah, Thoriq Ahmad Hijazi dalam bukunya yang berjudul “As-Syi’ah wa Al-Masjid Al-Aqsha”, telah memaparkan hasil penelitiannya tentang kedudukan Masjidil Aqsha ini di mata ulama dan marja Syiah.

Hijazi memaparkan bahwa, hampir semua kitab-kitab tafsir Syiah Imamiyah ketika menafsirkan ayat Isra Mi’raj yang populer dalam QS. Al-Isra: 1, menyatakan bahwa posisi Masjidil Aqsha yang sebenarnya itu adalah di langit atau baytul ma’mur. Ketika dinyatakan bahwa orang awam (Ahlusunnah) menganggapnya itu adalah masjid yang ada di atas bukit di kawasan kota Al-Quds, para ulama Syiah menyatakan bahwa Masjid Kufah lebih utama dari Masjidil Aqsha yang di bumi itu. (lihat Tafsir As-Shafi karya Al-Faydh Al-Kasyani vol.3/166; Tafsir Nur Al-Tsaqalain karya Al-Huwaizi vol.3/97; Tafsir Al-‘Iyasyi vol.2/302; Tafsir Bayan As-Sa’adah vol.2/431)

Hakikat Masjidil Aqsha yang dinyatakan oleh para mufasir Syiah itu juga sama dengan yang diungkapkan oleh ulama marja’ Syiah di dalam kitab-kitab akidah mereka, yaitu di antaranya: Muhammad Baqir Al-Majlisi dalam Bihar Al-Anwar vol.97/405; Abbas Al-Qummi dalam Muntaha Al-Amal hal.70; Ja’far Al-‘Amili dalam As-Sahih min Sirah Ar-Rasul Al-A’zham vol.3/101; Al-Kulayni dalam kitab Al-Kafi vol.1/481).

Bahkan Al-Hurr Al-Amili dalam kitab Tafshil Wasail Syiah ila Tahsil Masail Al-Syari’ah menyatakan bahwa hanya ada 3 tempat suci bagi umat Islam (tentu saja Syiah maksudnya) yaitu Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Kufah karena ia adalah haram-nya Imam Ali b. Abi Thalib (lihat vol.14/360). Ungkapan Hurr Amili ini didukung oleh Syeikh Al-Shaduq penulis kitab “Man La Yahdhuruh Al-Faqih” yang merupakan satu dari 4 kitab rujukan utama Syiah, seperti dikutip Hurr Amili dalam kitabnya, yang meriwayatkan hadis dari Amirul Mu’minin Ali b. Abi Thalib bahwa: “Tidak dianjurkan mengencangkan perjalanan kecuali kepada 3 Masjid: Al-Haram di Mekkah, Nabawi di Madinah dan Masjid Kufah” (vol.3/525)

Anehnya, ketika mengagungkan Masjid Kufah karena didalamnya Imam Ali b. Abi Thalib dimakamkan, Syiah sudah melupakan fakta bahwa Masjid tersebut dibangun oleh panglima muslim salah satu sahabat nabi yaitu Sa’ad bin Abi Waqqas, satu dari 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga, atas perintah Khalifah Umar bin Khattab saat ummat Islam berhasil menaklukkan ibukota kerajaan Persia.

Sebagaimana maklum Umar bin Khattab dianggap dajjal dan ‘kafir’ oleh Syiah karena ikut merampas hak kekhalifahan Ali, demikian pula Sa’ad bin Abi Waqqas dikafirkan oleh mereka karena tidak membaiat khalifah Ali. Sa’ad bahkan dijuluki oleh mereka Qarun-nya umat Islam. Bagaimana bisa Masjid yang dibangun oleh panglima Sa’ad yang “murtad” dan atas perintah khalifah Umar yang “kafir” itu demikian mulia di mata para ulama rujukan kaum Syiah dan para pengikutnya?

Hubungan Masjidil Aqsha dan Proyek Syiah

Sebelum rejim partai Ba’ats di Iraq pimpinan Presiden Saddam Husain terguling oleh koalisi ‘halus’ Amerika Serikat dan Syiah Iraq pada tahun 2003, pada tahun 2002 sebuah majalah Syiah “Al-Minbar” di Kuwait membuat reportase ekslusif tentang Karbala dan Al-Quds. Majalah itu dipimpin oleh Yasir Habib, yang heboh pada tahun 2006 melaknat Aisyah dan sahabat Nabi secara terbuka di Youtube sehingga memaksa Rahbar Iran Ayatullah Ali Khamenei mengeluarkan fatwa haram mencaci symbol-simbol tokoh ahlusunnah demi persatuan Islam.

Di dalam majalah Al-Minbar edisi 23, bulan Maret 2002, Yasir Habib menulis tajuk redaksi berjudul “Sebelum Al-Quds, Bebaskan Dulu Karbala!”, di situ ia mengatakan bahwa “Meskipun Al-Quds istimewa dan suci namun tetap urutannya ada setelah Karbala, kedudukan Quds tidak sama dengan Karbala dan kedudukan Dome of Rock juga tidak lebih istimewa dari Hussein, Masjid Aqsha juga tidak sama dengan Haram Masjid Kufah… Quds bukanlah fokus perhatian pertama kami (Syiah), Karbala lah fokus utama kami, maka sebelum membebaskan Al-Quds maka kita wajib membebaskan Karbala (yang masih dijajah oleh rejim Saddam Husein saat itu tahun 2002).” Setelah itu bisa dibebaskan, lanjut Yasir, maka barulah kita bergerak ke Palestina, dan dari sana lah kita akan bergerak ke seluruh dunia menyebarkan cahaya dan petunjuk.

Ia kembali menegaskan, “Telah kami jelaskan bahwa Al-Quds tidak akan kembali ke pangkuan umat Islam selama umat Islam belum kembali ke pangkuan Muhammad dan Ali alayhima assalam! (maksudnya mengikuti akidah Syiah) Ia menambahkan seruannya, “Kembalilah kalian semua kepada Muhammad dan Ali, niscaya Al-Quds akan kembali ke pangkuan kalian dengan Al-Mahdi! Bebaskan Karbala dahulu sebelum segala sesuatunya, baru pikirkan (langkah membebaskan) Al-Quds dan wilayah-wilayah sekitarnya. (Majalah Al-Minbar edisi 23, Maret 2002 M)

Syiah, Propaganda Yahudi dan Orientalis

Kaum Zionis-Yahudi selalu berusaha untuk meninjau ulang penafsiran ayat-ayat alquran yang menyatakan keistimewaan Masjidil Aqsha dan meragukan hadis-hadis nabi yang dinyatakan kesahihannya oleh ijma’ ulama ahlusunnah wal jama’ah.

Mereka menyatakan bahwa kata Al-Aqsha berarti tempat shalat di langit, dan untuk tujuan itu mereka mendapatkan pembenaran dari riwayat-riwayat Syiah yang menyatakan bahwa Masjidil Aqsha adalah nama Masjid di langit yang mirip namanya dengan Masjid yang terletak di Al-Quds sekarang ini.

Pandangan Zionis semacam ini mudah didapatkan di dalam beberapa literatur seperti entri Al-Quds yang ditulis F. Buhl, cendekiawan Yahudi di dalam Encyclopedia of Islam. Ia menulis, “barangkali Rasul (Muhammad) mengira bahwa Masjidil Aqsha adalah suatu tempat di langit”. (lihat buku Fadhail Bayt Al-Maqdis fi Makhtutat ‘Arabiyyah Qadimah karya Dr. Mahmud Ibrahim hlm.47, terbitan Ma’had Al-Makhtutat Al-‘Arabiyyah, cet.1 tahun 1985)

Salah satu peneliti senior di Akademi Studi Asia dan Afrika di Universitas Hebrew Jerussalem, Yitzhak Hasson, pernah meneliti manuskrip kitab Fadhail Bayt Al-Maqdis karya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad Al-Wasithi.

Ia menulis dalam kata pengantarnya, “telah dimaklumi bahwa sekte-sekte Syiah tidak memandang adanya keistimewaan Masjid Bayt Al-Maqdis ini di atas Masjid-Masjid lainnya”.

Yitzhak Hasson juga mengajukan dalil hadis-hadis yang tertera di dalam kitab Bihar Al-Anwar karya Al-Majlisi, seorang marja utama Syiah, dengan menulis bahwa “ulama Islam tidak pernah bersepakat bahwa Masjid al-Aqsha yang dimaksud adalah Masjid yang sekarang ada di kota Al-Quds sekarang ini, karena sebagian mereka menganggap bahwa Masjidil Aqsha adalah Masjid yang letaknya di langit berada tepat di atas kota Al-Quds atau Mekkah” (ibid, Dr. Mahmud Ibrahim, hlm.41)

Propaganda Yahudi yang menyangsikan posisi dan kedudukan Masjidil Aqsha di dalam keyakinan umat Islam yang mayoritas berakidah ahlusunnah wal jamaah, juga didukung oleh beberapa serpihan pemikiran orientalis.

Ignas Goldziehr (Orientalis Hongaria berdarah Yahudi, 1850-1920 M) adalah orang pertama yang meragukan hadis-hadis keutamaan Masjidil Aqsha yang ada sekarang ini dengan mengklaim bahwa khalifah Abdul Malik bin Marwan pada masa Umawiyah, telah melarang orang pergi haji ke Mekkah pada masa fitnah yang terjadi pada masa Abdullah ibnu Az-Zubair yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang menguasai kota Mekkkah.

Sebagai tandingannya, Abdul Malik ibnu Marwan membangun The Dome of Rock (Qubbat Sakhra) di Masjidil Aqsha agar umat Islam pergi haji ke sana sebagai alternatif berhaji ke Mekkah yang sedang dikuasai oleh Ibnu Zubair.

Untuk memuluskan politik ‘haji’ ala Abdul Malik bin Marwan inilah, menurut Ignas Goldziehr, ia meminta Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri untuk membuat hadis-hadis palsu yang menerangkan keutamaan Masjidil Aqsha seperti hadis populer tentang syaddu rihal ke Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.

Goldziher mengklaim bahwa semua hadis keutamaan baytul maqdis itu melalui jalur periwayatan ibnu Syihab Az-Zuhri. (lihat pembahasan ini dalam kitab As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ Islami, karya Dr. Musthafa As-Siba’I, hlm. 189-199, cet. Maktab Islami, tahun 1985)

Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa Yahudi memanfaatkan hadis-hadis Syiah yang bertujuan politis untuk melawan para khalifah Bani Umayyah dan untuk memberikan keistimewaan bagi kota-kota suci Syiah yang melebihi kedudukan Masjidil Aqsha.

Dengan demikian jelas pula kedudukan Masjidil Aqsha di mata Syiah. Karena mereka tidak mengakui keistimewaan Masjid suci ketiga dan kiblat pertama umat Islam, yang dibebaskan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA dan dipugar oleh para khalifah Bani Umayyah, serta dibebaskan kedua kali dari Pasukan Salib oleh Sultan An-Nashir Shalahudin Ayyubi.

Jadi mana mungkin mereka mengakui keistimewaan Masjid yang dimuliakan oleh tokoh-tokoh Ahlusunnah yang dimata mereka semua sangat dibenci. Khalifah Umar bin Khattab jelas dituding merampas hak kekhalifahan Ali, Bani Umayyah apalagi jelas dituding membantai dan menindas Ahlul Bayt dan pengikutnya, dan Sultan Shalahudin Ayyubi jelas sekali menghancurkan kekuatan daulah Syiah ismailiyah, saudara kembar Syiah imamiyah, yaitu Daulah Fatimid di Mesir, sebelum beliau mengalahkan kekuatan Salib.

Kenapa Al-Quds?

Sekarang, pertanyaannya mengapa kelompok Syiah dunia saat ini menaruh perhatian besar terhadap persoalan Al-Quds dan Masjidil Aqsha? Sudah beberapa seminar internasional digelar dan juga seminar-seminar nasional yang diadakan oleh pihak-pihak Indonesia yang pro Syiah yang mengangkat tema pembebasan Al-Quds.

Saya menduga, bahwa perhatian mereka terhadap persoalan Al-Quds dan Masjid Aqsha belakangan ini lebih disebabkan faktor-faktor politis, non ideologis keagamaan murni.

Salah satu blog Syiah (www.yahosein.com) di dunia Arab pernah pertanyakan status dan kedudukan Masjidil Aqsha di mata Syiah.

Uniknya, salah satu peserta diskusi jelas menyatakan bahwa “Masjid Al-Quds itu menurut Syiah dan golongan-golongan sesat (Ahlusunnah, di dalamnya) diakui telah dibangun oleh perampok nomor dua (kiasan untuk Khalifah Umar), dan di dalamnya ada kayu minbar yang populer dengan sebutan mimbar shalahuddin, di mana sultan kharabuddin (perusak agama, julukan buat Shalahudin Ayyubi di kalangan Syiah) membacakan khutbah, amat disayangkan ada umat Syiah yang bersedih dan menangis ketika Yahudi menggali di kawasan sekeliling Masjidil Aqsha.”

Hemat saya, perhatian mereka belakangan ini kepada isu Palestina dan Al-Quds memang disebabkan faktor politis non ideologis. Sebab jika ditilik akidah atau ideologi Syiah tentang Masjid Al-Aqsha jelas sekali dianggap tidak suci dan tidak istimewa melebihi Masjid Kufah, Karbala, Kubah Samarra, Najaf dan lain-lain. Satu-satunya alasan yang tersisa adalah faktor politis.

Seperti kita maklumi, Iran sejak revolusi Khomeini bersemangat ingin mengekspor revolusi Syiahnya ke seluruh dunia Islam dan bekerja siang malam untuk menyebarkan paham Syiah dengan segala sumber daya yang dimiliki.

Untuk tujuan itu, mereka berpikir keras agar paling tidak sebagai tahap awal bisa diterima oleh mayoritas mutlak umat Islam yang ahlusunnah ini dan tidak dicurigai membawa paham Syiah. Mereka melihat bahwa isu Palestina dan Al-Quds sejak beberapa dekade silam menjadi isu sentral sekaligus seksi di mata umat Islam dunia. Oleh sebab itulah, para politisi dan ulama Syiah mengangkat isu ini sebagai ‘jualan’ komoditas mereka (trademark).

Mereka juga sejak dekade lalu menetapkan Hari Al-Quds Internasional pada setiap jum’at terakhir bulan Ramadhan. Isu sentral Al-Quds memang sangat sentral dan empuk untuk meraih kepercayaan dan simpati publik Muslim Sunni di dunia Islam.

Persoalan utamanya justru yang bisa menjadi pembenar dugaan saya bahwa isu ini dieksplotasi secara politis untuk menyebarkan paham Syiah dengan seolah menggambarkan kepahlawanan Syiah lah sesungguhnya yang mengalahkan Israel dalam perang Hizbullah tahun 2006 dan manuver Ahmadinejad, presiden Iran, yang terus menerus berkoar akan melumatkan Israel dan menghapusnya dari peta dunia.

Strategi ini cukup sukses untuk membius dan menipu ulama dan cendekiawan sunni yang awam terhadap strategi Syiah ini, sehingga secara langsung atau tidak ikut membantu dan membela hak Syiah menyebarkan ajarannya di tengah komunitas Ahlusunnah.

Padahal tanah yang diberkahi yaitu Palestina dan Al-Quds tidaklah dimuliakan dan disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya melainkan karena di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsha. Untuk itulah, terdapat hadis-hadis mutawatir yang menyebutkan keutamaan shalat di dalamnya, dan bepergian kesana. Namun, seperti yang sudah saya singgung, sikap dan pendirian para mufasir dan ulama-ulama rujukan utama Syiah tidak menganggap sama sekali adanya Masjidil Aqsha, apalagi keistimewaannya seperti dijelaskan oleh sumber-sumber Ahlusunnah.

Oleh sebab itu tidak ada tafsir lain yang bisa menjelaskan perhatian besar mereka terhadap isu Al-Quds dan palestina, selain faktor politis yang saya kemukakan di atas. Silahkan pembaca menilainya sendiri secara objektif. Diterima atau tidak terserah pembaca.

Mamduh Ismail, seorang kolumnis Palestina menulis di situs Islamway.com bahwa poros aliansi Syiah Iran-Suriah-Hizbullah adalah kaum munafik yang memanfaatkan isu Palestina untuk kepentingan mereka sendiri sebagai jualan heroisme kepada rakyatnya dan bangsa-bangsa muslim dunia. Namun pada saat Gaza digencet Israel dan dibombardir Zionis selama lebih dari 20 hari di akhir tahun 2008 sampai Januari 2009, poros Syiah yang tampil heroik di depan publik muslim dunia ternyata tidak menolong sedikitpun kepada ‘saudara-saudara’ mereka kaum muslimin di Gaza yang menderita akibat agresi Israel. Tidak satupun roket atau senjata yang mereka kirim untuk membantu Hamas yang berjuang sendirian mempertahankan Gaza dari agersi Israel. Padahal katanya mereka adalah Negara kuat yang memiliki kekuatan militer yang bisa menghancurkan pasukan Zionis. Namun apa yang terjadi? Apa yang mereka lakukan hanyalah bentuk kemunafikan yang menjijikkan (lihat link berbahasa arab http://ar.Islamway.com/article/4939 diunduh oleh penulis pada tanggal 4 Juli 2012)

Kesimpulannya, saya berkeyakinan bahwa kelompok yang ‘terbiasa’ menghina Khalifah Umar bin Khattab dan mendiskreditkan Shalahuddin Ayyubi pada masa silam, tentu saja tidak akan bisa membebaskan Palestina dan Al-Quds pada masa kini.

Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha hanya bisa dibebaskan oleh kelompok yang mendapat pertolongan Allah ta’ala, mereka disebut At-Thoifah Al-Manshurah yang teguh dan istikamah memegang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, dan memiliki akidah yang sahih tidak bercampur sedikitpun dengan bid’ah-bid’ah dhalalah seperti akidah kemaksuman manusia biasa selain Rasul, dan apalagi yang meyakini Al-Qur’an ini palsu dan terdistorsi. Wallahu A’lam. [FS].

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More