Aset Koruptor Indonesia di Singapura 783 Triliun
Keseriusan Singapura melaksanakan perjanjian ekstradisi dpertanyakan karena para koruptor RI yang kabur ke Singapura juga memiliki investasi di Singapura. Total dana orang Indonesia yang diparkir di sana mencapai sekitar US$ 87 miliar atau setara dengan Rp 783 triliun.
Ternyata Rokok Tidak Berbahaya
Dari penyelidikan beberapa pakar kesehatan mengatakan rokok itu sama sekali tidak berbahaya bagi kesehatan. Bahkan mereka berusaha membuktikannya dengan kisah-kisah yang sudah lama terpendam sejak zaman dahulu kala.
Bung Karno Geram, Ike John Repot
Negara digdaya itu dibikin malu Indonesia ketika pilotnya, Allen Pope ditembak jatuh di pulau Morotai. Lebih malu lagi, karena dengan tertangkapnya pilot itu, kedok AS dan CIA akhirnya terbuka. Kedok yang membuktikan AS melalui CIA sudah main api dengan petualangannya di balik pemberontakan separatisme di Indonesia.
Bahaya Imunisasi dan Konspirasi Yahudi
Merunut sejarah vaksin modern yang dilakukan oleh Flexner Brothers, kita dapat menemukan bahwa kegiatan mereka dalam penelitian tentang vaksinasi pada manusia didanai oleh Keluarga Rockefeller. Rockefeller sendiri adalah salah satu keluarga Yahudi yang paling berpengaruh di dunia, dan mereka adalah bagian dari Zionisme Internasional.
Mari Teliti Sebelum Membeli
Secara lahir, produk yang mengandung bahan berbahaya akan memberikan dampak yang merugikan bagi kesehatan. Sedangkan secara batin, mengkonsumsi produk tidak halal akan berdosa. Oleh karena itu konsumen perlu sekali memahami informasi tentang produk yang akan dikonsumsinya.
Sejarah Ringkas Muhammad ibn Abdil Wahhab Dan Gerakan Wahhabiyyah
Mencegah Sebelum Parah
Natal, Intoleransi dan Budaya Konyol Di Indonesia
Kata Christmas (Natal) yang diartikan sebagai Mass of Christ atau disingkat dengan Christ-Mass adalah sebuah hari dimana dirayakan kelahiran dari “Yesus”. Biasanya rutin dilaksanakan setiap tanggal 25 Desember pada tiap tahunnya. Berbagai aktivitas pun dilakukan untuk memperingati hari ini seperti doa bersama, pesta, pohon natal, dan sejenisnya. Perayaan yang dilakukan oleh orang-orang kristen bahkan orang-orang non-kristen ini berasal dari ajaran Gereja Kristen Katolik Roma.
Pada dasarnya perintah untuk menyelenggarakan Natal tidak pernah ada dalam Bibel. Perayaan Natal baru masuk dalam ajaran Kristen Katolik pada abad ke-4 M. Dan peringatan inipun sebenarnya merupakan hasil dari proses Sinkretisme (Penggabungan dua agama) antara Kristen Katolik dan juga budaya Paganis Politheisme Imperium Romawi pada saat itu. Ketika Kaisar Konstantin menjadi penganut Kristen Katolik, ia tetap tidak mampu meninggalkan adat atau kepercayaannya terhadap budaya pagannya, apalagi terhadap pesta rakyat untuk memperingati hari kelahiran Dewa Matahari pada tanggal 25 Desember.
Karena itulah agar agama Katolik bisa diterima dan masuk ke tengah-tengah masyarakat Romawi maka dilakukanlah proses Sinkretisme tadi yakni dengan cara menyatukan perayaan kelahiran dari Sun of God (Dewa Matahari) dengan kelahirannya Son of God (Yesus). Kemudian pada konsili tahun 325, Kaisar Konstantin memutuskan untuk menetapkan bahwa tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran dari Yesus. Sesudah Kaisar Konstantin memeluk agama Katolik dan melakukan penyatuan kedua agama melalui proses Sinkretisme tadi, maka rakyat pun beramai-ramai memeluk agama Katolik. Bisa dikatakan ini adalah sebuah prestasi gemilang dari hasil proses Sinkretisme oleh Kaisar Konstantin dengan agama Paganisme Politheisme nenek moyang mereka. Pada akhirnya semenjak tahun 1100, Natal telah menjadi perayaan keagamaan terpenting di banyak negara-negara Eropa.
Budaya Latah dan Konyol ?
Sudah menjadi kebiasaan kalau tidak dikatakan budaya yang mengakar dan menyebar di rakyat Indonesia bahwa pesta atau perayaan terhadap satu momen itu sangatlah penting. Tidak hanya sampai di situ, rakyat Indonesia juga sangat terbiasa bahkan terbudayakan untuk memperingati berbagai hari-hari perayaan walau itu berasal dari asing.
Misalkan saja ketika kita masuk di pertengahan bulan Desember yakni minggu-minggu jelang 25 Desember, hari perayaan Natal. Kita bisa merasakan atmosfir yang terbentuk di sekitar kita ditujukan untuk memperingati dan menyambut datangnya perayaan Natal. Di jalan-jalan penuh dengan iklan ucapan selamat Natal, pergi ke pusat perbelanjaan maka kita disuguhi dengan suasana menyambut Natal mulai dari para karyawannya yang berpakaian seperti Santa Klaus, lagu-lagu rohani Kristen, dekorasi pohon Natal yang dihiasi dengan hiasan sedemikian rupa, dan lainnya. Bahkan media pun tidak lupa untuk mem-blow up akan perayaan Natal ini sedemikian rupa, disuguhi lah masyarakat Indonesia dengan film-film bernuansa Kristen dan Paganisme Politheisme.
Kemudian ketika di akhir tahun, jelang tanggal 1 Januari. Kita mendengar bagaimana ramainya orang membicarakan apa yang ingin ia lakukan ketika tahun baru nanti, berpesta-pora menyambut tahun baru. Tahun baru memang dikatakan sebagai sebuah hari suci bagi umat Kristen di seluruh penjuru dunia, setiap tahun baru banyak orang di seluruh penjuru dunia keluar dari rumahnya kemudian meniupkan terompet, menyalakan kembang api, berpesta pora, dan mengucapkan “Happy New Year”. Hakikatnya, budaya ini telah lama dirayakan oleh orang-orang Yahudi jauh sebelum umat Kristiani merayakannya. Dan sekali lagi, di akhir tahun Indonesia benar-benar menjadi sebuah negeri yang mayoritas muslim mendadak menjadi sangat kental ke-yahudi-annya.
Inilah fakta yang memprihatinkan dari sebuah bangsa yang ultra-latah. Bangsa yang ultra-latah ini akan sangat mengagungkan kebudayaan-kebudayaan dari asing di luar sana yang dianggapnya sebagai negeri maju dan berjaya, maka kemudian begitu mudahnya larut dengan budaya Natal, tahun baru, valentine, April mob, dan lainnya ke negeri kita. Hingga negeri ini memang pantas dikatakan sebagai sebuah negeri yang terjajah, mungkin tidak dijajah secara fisik namun tentu dijajah secara pemikiran. Benarlah jika dikatakan bahwa negeri yang terjajah akan mengikuti apapun yang dilakukan oleh negeri yang menjajahnya, termasuk kebudayaannya.
Mari kita pikirkan, apa hubungannya dengan mencontoh perayaan natal di bulan Desember, tahun baru di awal tahun pada bulan Januari, hari kasih sayang atau dikenal dengan hari Valentine pada pertengahan bulan Februari, april mob pada awal april, dan seterusnya dengan kemajuan yang mungkin bisa diperoleh oleh negeri yang mencontoh perayaan hari-hari tersebut? Tentu sama sekali tidak ada hubungannya. Lalu mengapa tetap dilakukan oleh rakyat Indonesia? Ya, inilah budaya ultra-latah dari masyarakat Indonesia, sebuah budaya konyol.
Siapa Yang Intoleransi?
Natal merupakan perayaan yang seharusnya dikhususkan hanya untuk kaum-kaum Kristen namun berbeda dengan Indonesia. Berkat budaya latah serta pemikiran-pemikiran ‘nyeleneh’ dari segelintir orang maka Natal pun diopinikan sebagai sebuah ritual bersama bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat ia seorang yang beragama Kristen atau tidak. Termasuk walaupun ia adalah seorang muslim.
Di satu kesempatan Nafsiah Mboy, Ketua Panitia Perayaan Natal Nasional sekaligus Menteri Kesehatan Indonesia usai bertemu dengan Presiden SBY, ia menyatakan bahwa Presiden SBY dan Wapres Budiono akan turut menghadiri perayaan puncak Natal Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 27 Desember nanti. Mboy juga menyatakan bahwa presiden berharap penyelenggaraan puncak perayaan Natal 2012 ini bersifat inklusif, dan dapat dirasakan semua pihak, tidak hanya umat Kristiani. (antaranews.com, 7/12)
Pada kesempatan lain, mantan wakil presiden Jusuf Kalla yang notabene juga adalah seorang muslim menyampaikan dengan jelas ucapan selamat Natalnya pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pernyataan ini diucapkan bersamaan dengan kunjungannya ke NTT, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. (voa-islam.com, 21/12)
Entah karena ketidak tahuan atau kesengajaan yang sengaja dilakukan dengan berbagai tujuan politisnya. Yang pasti bisa mengedukasi pendangkalan aqidah umat muslim. Bagaimana tidak ? Melihat bagaimana ritual natal ini dijadikan sebagai sebuah ritual bersama yang bahkan dianjurkan sekali untuk juga dilakukan oleh umat muslim, minimal sekedar mengucapkan selamat natal dengan dalih toleransi, pluralism dan bahasa manipulative lainnya.
Bagi pemeluk beragam Kristen sah-sah saja merayakan Hari Natal ini. Tapi mempromosikan perayaan ini sedemikian rupa kemudian memberlakukannya untuk dan agar diikuti oleh semua rakyat Indonesia baik ia beragama Kristen atau bukan. Hakikatnya ini adalah tindakan intoleransi terhadap umat muslim. Kita lihat saja fakta di super market dan mall-mall serta pusat perbelanjaan lainnya yang tentu saja mayoritas pengunjungnya adalah umat muslim kemudian disuguhkan dengan lagu-lagu rohani umat Kristen terus menerus. Bahkan karyawan-karyawan sampai satpam tempat-tempat tadi yang mayoritas bahkan kita yakin ia beragama Islam, mereka diharuskan untuk memakai atribut Natal seperti topi Santa Claus, bajunya, dan lainnya.
Umat muslim pun diseru untuk mengucapkan selamat Natal bahkan bila perlu juga ikut merayakan dan memfasilitasi perayaannya. Ya, semua itu di bungkus dengan pujian menyesatkan bahwa umat muslim adalah umat yang tingkat toleransinya tinggi serta benar-benar nyata ikut berperan penting dalam menjaga kerukunan antar umat beragama. Konyolnya lagi jika umat muslim tidak melakukannya maka cap anti non-muslim, dan intoleran pun dilekatkan dengan sangat kuat.
Islam Menjaga Aqidah Umat Islam dan Menghargai Non Muslim
Dalam sebuah dialog menarik yang tersebar di berbagai situs internet serta jejaring sosial, ada pelajaran yang sangat baik pada dialog ini. Berikut cuplikannya :
Muslim: Bagaimana Natalmu?
David : Baik, kau tidak mengucapkan Selamat Natal padaku? .....
Muslim: Tidak, agama kami menghargai toleransi antar agama, termasuk agamamu, tapi masalah ini, agama saya melarangnya.
David : Tapi kenapa, bukankah hanya sekedar kata-kata? Teman muslimku yang lain mengucapkannya padaku.
Muslim: Mungkin mereka belum mengetahuinya. David, kau bisa mengucapkan “Dua kalimat syahadat”?
David : Oh tidak, saya tidak bisa mengucapkannya. Itu akan mengganggu kepercayaan saya.
Muslim: Kenapa? Bukankah hanya kata-kata? Ayo, ucapkanlah.
David : Sekarang, saya mengerti.
Dialog ini menggambarkan dengan sangat baik kepada kita tentang hubungan antara muslim dan non-muslim, khususnya berkaitan dengan Hari Natal ini. Logika yang sederhana namun cerdas cukup menggambarkan kepada kita bagaimana seharusnya hubungan antara kedua umat yang berbeda keyakinan ini.Sementara hari ini banyak orang yang dianggap “tokoh” masyarakat level Nasional/Lokal dari kalangan muslim karena sebab kebodohannya tampil sok humanis, pluralis, wisdom, menjadi pahlawan, pemimpin hebat kemudian mengucapkan “selamat natal” kepada umat kristiani tanpa disadari hal tersebut telah merusak akidah dirinya dan umat Islam.Tentu ini menabrak tuntunan Allah swt dan RasulNya.Sosok muslim yang kehilangan jati diri, “muslim KTP” yang eksis terlepas dari pakem dan manhaj hidup yang digariskan Rasulullah SAW.
Setidaknya ada 4 (empat) alasan mengapa aturan Islam melarang umatnya untuk mengucapkan selamat natal apalagi ikut merayakannya :
Pertama, Hari Natal bukanlah perayaan kaum Muslim. Rasulullah telah menjelaskan dengan sangat tegas bahwasanya perayaan bagi Kaum Muslim hanya ada 2, yakni ketika Idul Fitri dan juga Idul Adha. Anas bin Malik RA berkata : “Ketika Rasulullah datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa Jahiliyah. Maka beliau berkata : Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian yaitu hari raya kurban (Idul Adha) dan hari raya Idul Fitri. (HR. Ahmad)
Telah jelas disampaikan oleh Rasulullah bahwa bagi umat muslim yang mengaku dirinya muslim dan beriman kepada Allah dan RasulNya maka baginya hanya ada dua hari perayaan besar disepanjang tahun. Tentu sebagai muslim yang taat, cukuplah petunjuk Nabi Muhammad Saw menjadi sebaik-baiknya petunjuk dan hanya itu yang kita jadikan panutan, dan cukuplah hanya yang berasal dari Allah dan RasulNya.
Kedua, mengucapkan Selamat Natal dan ikut merayakannya bahkan memfasilitasinya saja sama dengan menyetujui kekufuran orang-orang yang merayakan natal. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “selamat” artinya terhindar dari bencana, aman sentosa; sejahtera tidak kurang suatu apa; sehat; tidak mendapat gangguan, kerusakan dsb; beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal. Dengan begitu ucapan selamat artinya adalah doa (ucapan, pernyataan, dsb) yang mengandung harapan supaya sejahtera, tidak kurang suatu apa, beruntung, tercapai maksudnya, dsb.
Natal adalah sebuah perayaan kelahiran Yesus Kristus (Nabi Isa al-Masih as) yang dalam pandangan umat Kristen saat ini ia adalah anak Tuhan dan Tuhan anak serta meyakini ajaran Trinitas. Lalu bagaimana bisa seorang muslim yang bertolak belakang dan jelas berbeda pemahamannya mengenai Nabi Isa mendoakan kaum Kristen keselamatan atas apa yang mereka pahami tadi? Padahal dengan sangat jelas Allah menyatakan mereka sebagai orang kafir (QS. Al-Maidah : 72-75) yang tentu di akhirat kelak akan dijatuhi hukuman neraka nan pedih.
Umat Islam meyakini bahwa Nabi Isa adalah utusan Allah ke dunia, bukan anak apalagi Tuhan. Karena Demi Allah, Allah SWT tidaklah diperanakkan dan tidak beranak, ia Maha Esa dan Maha Kuasa, tak ada satupun yang mampu menandinginya bahkan tiada yang pantas untuk sekedar disamakan denganNya. Mengucapkan selamat Natal dan bahkan ikut merayakannya sama saja dengan mengakui apa yang dipahami oleh umat Kristen, dan sudah tentu itu adalah sebuah tindak kekufuran yang nyata yang bisa membuat pelakunya jatuh kepada kekafiran.
Ketiga, merupakan sikap loyal (wala) yang salah dan keliru. Loyal tidaklah sama dengan berbuat baik. Wala memiliki arti loyal, menolong, atau memuliakan orang yang kita cintai, sehingga apabila kita wala terhadap seseorang, akan tumbuh rasa cinta kepada orang tersebut. Oleh karena itulah, kekasih-kekasih Allah disebut pula sebagai wali-wali Allah.
Ketika kita mengucapkan selamat Natal, hal itu tentu dapat menumbuhkan rasa cinta kita perlahan-lahan kepada mereka. Mungkin sebagian kita mengingkari, yang diucapkan hanya sekedar lisan saja. Namun, seorang muslim secara tegas diperintahkan untuk mengingkari sesembahan-sesembahan orang kafir (QS. Al-Mumtahanah : 4). Bahkan Rasulullah pun dengan jelas mencontohkan kepada kita bagaimana Rasulullah dengan tegas mengingkari patung-patung sesembahan orang-orang kafir jahiliyah dan menghina sesembahan mereka serta menyampaikan bahwa yang patut disembah hanyalah Allah SWT dan Dia tidak perlu suatu perantara apapun.
Keempat, aktivitas mengucapkan Selamat Natal dan ikut merayakannya atau sekedar memfasilitasinya adalah aktivitas menyerupai orang kafir. Tentu bukan sesuatu yang aneh lagi jika pada faktanya ada sebagian muslim yang ternyata turut berpartisipasi dalam perayaan natal. Ketika di pasar-pasar, super market, mall-mall dan pusat perbelanjaan lainnya ada sebagian kaum muslim yang berpakaian dengan pakaian khas perayaan natal. Padahal Rasulullah Saw dengan tegas telah melarang kaum muslim untuk menyerupai kaum kafir. Sabda Rasulullah Saw : “ Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Alasan terpaksa karena pekerjaan atau takut dipecat menjadi alasan klasik yang kerap kali menjadi pembenaran untuk sebagian kaum muslim demi melakukan aktivitas menyerupai kaum kafir tadi. Padahal pekerjaan dan dipecat tidak ada hubungannya dengan rezeki yang Allah berikan, hal tersebut adalah sesuatu yang berbeda. Justru apakah demi segepok uang kita rela menggadaikan aqidah kita hingga kemudian kehilangan tempat di surga dan masuk ke neraka Allah SWT yang siksanya luar biasa pedih. Tidak adakah rasa takut terhadap hal tersebut hingga berani menggadaikan aqidah kita? Sesungguhnya Allah pasti akan mempermudah jalan hambaNya yang berusaha sekuat tenaga untuk taat pada aturanNya, termasuk mempermudah rezekinya.
Inilah alasan-alasan mengapa Natal tidak boleh ikut dirayakan oleh Kaum Muslim atau sekedar mengucapkannya. Walau begitu, bukan berarti Islam tidak toleran terhadap agama yang lain. Islam melakukan sebuah tindakan penjagaan aqidah umatnya yang memang menjadi ruh dan pondasi dari agama itu sendiri, dan kepada umat non-muslim yang lain, aturan Islam adalah aturan yang paling toleran dan tentunya menghargai perbedaan antar keyakinan beragama.
Islam tidak akan pernah memaksakan keyakinannya kepada pemeluk agama lain, bahkan sekedar mengganggunya. Karena sesungguhnya tidak ada paksaan untuk masuk pada Islam dan meyakininya. Bahkan dalam sistem negara islam yakni Khilafah Islamiyah yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, mereka-mereka yang beragama selain Islam menerima perlakuan yang baik dan penghargaan yang luar biasa. Diperbolehkan bagi mereka melaksanakan keyakinan beragama mereka tanpa ada gangguan sedikitpun tentunya dengan aturan tertentu, dan sekali lagi tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk pada Islam bahkan walau mereka berada di tengah-tengah negeri yang menerapkan aturan Islam, Islam tidak akan pernah mengganggu mereka termasuk dalam perkara aqidah mereka. Karena itu Islam adalah agama yang toleran dan paling menghargai kepada agama selain Islam, namun tentu menolak pemahaman Pluralisme dan Sinkretisme yang merupakan satu pemahaman sesat dan tak layak diterima. Wallahu a’lam bi ash shawab.[AA]
Freeport Adalah VOC Masa Kini
Jika kita melihat ke sejarah bangsa Indonesia, kita pasti sangat ingat dengan kolonialisme yang dilakukan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Jika dilihat dari pola sistem penjajahan, VOC di Nusantara dapat dikatakan tidak secara langsung menjajah Indonesia, karena VOC menjajah kita lewat para penguasa pribumi. Para pejabat pribumi inilah yang membiarkan bahkan menjaga agar VOC dapat dengan leluasa menguras rempah-rempah dari tanah Nusantara.
Coba bandingkan VOC yang dahulu menjajah Nusantara dan didukung oleh pejabat pribumi, dengan Freeport yang saat ini masih bebas mengeruk tanah Papua dan dibiarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Jika dilihat dari sisi ini, jelas tidak ada bedanya antara Freeport dan VOC! Keduanya adalah korporasi penjajah yang didukung oleh penguasa pribumi. Perbedaanya hanya pada masanya, VOC didukung oleh penguasa pribumi, sedangkan Freeport sekarang didukung oleh pemerintah Indonesia.
Selain perbedaan komoditas, hanya perbedaan jaman yang membedakan antara kolonialisme ala VOC (rempah-rempah) dan neo kolonialisme ala Freeport (emas).
Akan tetapi, bukankah katanya Indonesia sudah merdeka? Mengapa masih ada korporasi penjajah seperti Freeport yang mengeruk emas dari tanah Papua? Bukankah Irian atau Papua Barat adalah bagian dalam NKRI yang sudah merdeka? Jika sudah merdeka, mengapa Papua masih dijajah oleh Freeport? Mengapa pemerintah RI membiarkan penjajahan Freeport terhadap tanah Papua?
Bukan bermaksud menuduh, tapi dari film dokumenter Alkinemokiye ada salah satu fakta yang menarik yang mengundang pertanyaan. Disebutkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, Freeport mengeluarkan dana Rp 711 Miliar untuk uang keamanan yang diberikan kepada para aparat pemerintah RI. Untuk apa Freeport memberikan uang sebesar itu kepada aparat pemerintah RI? Tentu saja untuk mengamankan penjajahan Freeport di tanah Papua!
Fakta lain dalam Alkinemokiye yang juga tidak kalah menarik adalah demo terbesar yang dilakukan buruh Freeport, pada 15 September 2011. Disebutkan 8.000 dari 22.000 pekerja Freeport Indonesia melakukan aksi mogok menuntut kenaikan upah dari US $3,5/jam menjadi US $7,5/jam. Akan tetapi bukan kenaikan gaji yang mereka dapat, malah beberapa kawan mereka yang mati ditembak oleh penembak misterius. Setidaknya sejak bulan Juli 2009 sampai dengan bulan November 2011, 11 buruh dan sub-kontraktor Freeport, mati secara misterius.
Film Alkinemokiye bahkan sempat dilarang diputar dalam acaraScreen Below The Wind Festival di Ubud, Bali, pada 16 November 2012 kemarin. Pelarangan ini langsung dilakukan oleh polisi dari Polda Ubud, yang langsung berjaga disekitar tempat SBWFestival berlangsung. Meskipun keadaan festival film dokumenter se-ASEAN itu sempat menjadi tegang, akhirnya acara langsung dilanjutkan dengan diskusi dengan sutradara film dokumenter Alkinemokiye, Dandhy Dwi Laksono. Mungkin karena kedatangan dan pencekalan polisi juga, Film Alkinemokiye akhirnya menjadi film dokumenter terfavorit dalam acara SBWFest.
Bisa kita lihat, Freeport yang sudah membayar uang keamanan kepada aparat pemerintah, sangat khawatir dengan kebenaran dalam Alkinemokiye. Sehingga film dokumenter Alkinemokiye, yang bercerita tentang perjuangan buruh Freeport, dicekal pemutarannya dalam SBWFestival. [BD/Bo]
Benarkah Syiah Serius akan Bebaskan al-Quds?
Jauh sebelumnya memang sudah pernah ada usaha Syiah untuk mengeksploitasi isu Palestina ini misalnya dengan fatwa Imam Khomeini, Rahbar Iran, yang menetapkan hari jumat terakhir bulan Ramadhan sebagai Hari Al-Quds Internasional. Namun sepertinya, tidak begitu berpengaruh dan ‘ngefek’ untuk menarik simpati kaum muslimin sunni untuk melirik akidah Syiah.
Baru setelah kisah heroism perlawanan milisi Hizbullah tahun 2006 itulah, terjadi titik balik fitnah tasyayyu di dunia Islam terutama di Syam (Mesir, Suriah, Libanon dan Yordania) dan Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia).
Hanya karena sekali peristiwa perlawanan Syiah terhadap Zionis-Israel, yang sebelumnya selalu bekerjasama menghancurkan perlawanan bangsa Palestina, yang lebih didorong faktor politis untuk menguasai Selatan Libanon sebagai basis milisi Syiah secara nasional dengan tidak menyatakan kepentingan perang itu demi Palestina.
Sekali lagi, hanya karena sekali itu saja, kita lalu dibuat –akibat bombardir media massa pro Syiah di dunia- buta dan tidak kenal sama sekali kepahlawanan para tokoh-tokoh pejuang Sunni yang puluhan ribu gugur untuk membela isu Al-Quds dan Masjidil Aqsha.
Nama besar seperti Hasan Al-Banna, Mustafa Siba’I, Ahmad Yassin, Abdul Aziz Rantisi, Yahya Ayyash, dan sederet martir-martir Ahlusunnah lenyap sirna seolah tertelan dan tenggelam oleh kehebatan sosok milisi Hizbullah dengan pemimpinnya Hasan Nasrallah.
Waktu itu, saya pun ikut mengagumi Nasrallah, sambil tetap mengenal baik jasa-jasa martir Sunni di kepala saya. Sehingga doa selalu kami kirim untuk arwah mereka.
Namun tidak sedikit, kawan-kawan saya wartawan media massa sudah termakan jualan Syiah ini. Sambil meledek saya, ada yang berkata, mana orang-orang Sunni yang seberani Hizbullah dan Ahmadinejad menentang dan menantang Israel dan AS?
Subhanallah, dia lupa akan nama-nama tadi dan jadi korban media-media Syiah yang rajin membombardir kita dengan Hizbullah sehingga kita lupa terhadap jasa para martir Ahlusunnah.
Selain faktor media itu dan kondisi memalukan dari sikap politik resmi rejim pemerintahan Negara-negara sunni yang lebih tunduk kepada tekanan AS dan ikut memusuhi Hamas, tidak banyak yang mengetahui bagaimana sebenarnya sikap keimanan Syiah terhadap Al-Quds dan Masjidil Aqsha, baik dari kalangan para mufasirnya maupun dari kalangan ulama akidah yang menjadi marja’ utama kaum Syiah di dunia.
Masjidil Aqsha dalam Literatur Syiah
Seorang peneliti masalah-masalah Syiah, Thoriq Ahmad Hijazi dalam bukunya yang berjudul “As-Syi’ah wa Al-Masjid Al-Aqsha”, telah memaparkan hasil penelitiannya tentang kedudukan Masjidil Aqsha ini di mata ulama dan marja Syiah.
Hijazi memaparkan bahwa, hampir semua kitab-kitab tafsir Syiah Imamiyah ketika menafsirkan ayat Isra Mi’raj yang populer dalam QS. Al-Isra: 1, menyatakan bahwa posisi Masjidil Aqsha yang sebenarnya itu adalah di langit atau baytul ma’mur. Ketika dinyatakan bahwa orang awam (Ahlusunnah) menganggapnya itu adalah masjid yang ada di atas bukit di kawasan kota Al-Quds, para ulama Syiah menyatakan bahwa Masjid Kufah lebih utama dari Masjidil Aqsha yang di bumi itu. (lihat Tafsir As-Shafi karya Al-Faydh Al-Kasyani vol.3/166; Tafsir Nur Al-Tsaqalain karya Al-Huwaizi vol.3/97; Tafsir Al-‘Iyasyi vol.2/302; Tafsir Bayan As-Sa’adah vol.2/431)
Hakikat Masjidil Aqsha yang dinyatakan oleh para mufasir Syiah itu juga sama dengan yang diungkapkan oleh ulama marja’ Syiah di dalam kitab-kitab akidah mereka, yaitu di antaranya: Muhammad Baqir Al-Majlisi dalam Bihar Al-Anwar vol.97/405; Abbas Al-Qummi dalam Muntaha Al-Amal hal.70; Ja’far Al-‘Amili dalam As-Sahih min Sirah Ar-Rasul Al-A’zham vol.3/101; Al-Kulayni dalam kitab Al-Kafi vol.1/481).
Bahkan Al-Hurr Al-Amili dalam kitab Tafshil Wasail Syiah ila Tahsil Masail Al-Syari’ah menyatakan bahwa hanya ada 3 tempat suci bagi umat Islam (tentu saja Syiah maksudnya) yaitu Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Kufah karena ia adalah haram-nya Imam Ali b. Abi Thalib (lihat vol.14/360). Ungkapan Hurr Amili ini didukung oleh Syeikh Al-Shaduq penulis kitab “Man La Yahdhuruh Al-Faqih” yang merupakan satu dari 4 kitab rujukan utama Syiah, seperti dikutip Hurr Amili dalam kitabnya, yang meriwayatkan hadis dari Amirul Mu’minin Ali b. Abi Thalib bahwa: “Tidak dianjurkan mengencangkan perjalanan kecuali kepada 3 Masjid: Al-Haram di Mekkah, Nabawi di Madinah dan Masjid Kufah” (vol.3/525)
Anehnya, ketika mengagungkan Masjid Kufah karena didalamnya Imam Ali b. Abi Thalib dimakamkan, Syiah sudah melupakan fakta bahwa Masjid tersebut dibangun oleh panglima muslim salah satu sahabat nabi yaitu Sa’ad bin Abi Waqqas, satu dari 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga, atas perintah Khalifah Umar bin Khattab saat ummat Islam berhasil menaklukkan ibukota kerajaan Persia.
Sebagaimana maklum Umar bin Khattab dianggap dajjal dan ‘kafir’ oleh Syiah karena ikut merampas hak kekhalifahan Ali, demikian pula Sa’ad bin Abi Waqqas dikafirkan oleh mereka karena tidak membaiat khalifah Ali. Sa’ad bahkan dijuluki oleh mereka Qarun-nya umat Islam. Bagaimana bisa Masjid yang dibangun oleh panglima Sa’ad yang “murtad” dan atas perintah khalifah Umar yang “kafir” itu demikian mulia di mata para ulama rujukan kaum Syiah dan para pengikutnya?
Hubungan Masjidil Aqsha dan Proyek Syiah
Sebelum rejim partai Ba’ats di Iraq pimpinan Presiden Saddam Husain terguling oleh koalisi ‘halus’ Amerika Serikat dan Syiah Iraq pada tahun 2003, pada tahun 2002 sebuah majalah Syiah “Al-Minbar” di Kuwait membuat reportase ekslusif tentang Karbala dan Al-Quds. Majalah itu dipimpin oleh Yasir Habib, yang heboh pada tahun 2006 melaknat Aisyah dan sahabat Nabi secara terbuka di Youtube sehingga memaksa Rahbar Iran Ayatullah Ali Khamenei mengeluarkan fatwa haram mencaci symbol-simbol tokoh ahlusunnah demi persatuan Islam.
Di dalam majalah Al-Minbar edisi 23, bulan Maret 2002, Yasir Habib menulis tajuk redaksi berjudul “Sebelum Al-Quds, Bebaskan Dulu Karbala!”, di situ ia mengatakan bahwa “Meskipun Al-Quds istimewa dan suci namun tetap urutannya ada setelah Karbala, kedudukan Quds tidak sama dengan Karbala dan kedudukan Dome of Rock juga tidak lebih istimewa dari Hussein, Masjid Aqsha juga tidak sama dengan Haram Masjid Kufah… Quds bukanlah fokus perhatian pertama kami (Syiah), Karbala lah fokus utama kami, maka sebelum membebaskan Al-Quds maka kita wajib membebaskan Karbala (yang masih dijajah oleh rejim Saddam Husein saat itu tahun 2002).” Setelah itu bisa dibebaskan, lanjut Yasir, maka barulah kita bergerak ke Palestina, dan dari sana lah kita akan bergerak ke seluruh dunia menyebarkan cahaya dan petunjuk.
Ia kembali menegaskan, “Telah kami jelaskan bahwa Al-Quds tidak akan kembali ke pangkuan umat Islam selama umat Islam belum kembali ke pangkuan Muhammad dan Ali alayhima assalam! (maksudnya mengikuti akidah Syiah) Ia menambahkan seruannya, “Kembalilah kalian semua kepada Muhammad dan Ali, niscaya Al-Quds akan kembali ke pangkuan kalian dengan Al-Mahdi! Bebaskan Karbala dahulu sebelum segala sesuatunya, baru pikirkan (langkah membebaskan) Al-Quds dan wilayah-wilayah sekitarnya. (Majalah Al-Minbar edisi 23, Maret 2002 M)
Syiah, Propaganda Yahudi dan Orientalis
Kaum Zionis-Yahudi selalu berusaha untuk meninjau ulang penafsiran ayat-ayat alquran yang menyatakan keistimewaan Masjidil Aqsha dan meragukan hadis-hadis nabi yang dinyatakan kesahihannya oleh ijma’ ulama ahlusunnah wal jama’ah.
Mereka menyatakan bahwa kata Al-Aqsha berarti tempat shalat di langit, dan untuk tujuan itu mereka mendapatkan pembenaran dari riwayat-riwayat Syiah yang menyatakan bahwa Masjidil Aqsha adalah nama Masjid di langit yang mirip namanya dengan Masjid yang terletak di Al-Quds sekarang ini.
Pandangan Zionis semacam ini mudah didapatkan di dalam beberapa literatur seperti entri Al-Quds yang ditulis F. Buhl, cendekiawan Yahudi di dalam Encyclopedia of Islam. Ia menulis, “barangkali Rasul (Muhammad) mengira bahwa Masjidil Aqsha adalah suatu tempat di langit”. (lihat buku Fadhail Bayt Al-Maqdis fi Makhtutat ‘Arabiyyah Qadimah karya Dr. Mahmud Ibrahim hlm.47, terbitan Ma’had Al-Makhtutat Al-‘Arabiyyah, cet.1 tahun 1985)
Salah satu peneliti senior di Akademi Studi Asia dan Afrika di Universitas Hebrew Jerussalem, Yitzhak Hasson, pernah meneliti manuskrip kitab Fadhail Bayt Al-Maqdis karya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad Al-Wasithi.
Ia menulis dalam kata pengantarnya, “telah dimaklumi bahwa sekte-sekte Syiah tidak memandang adanya keistimewaan Masjid Bayt Al-Maqdis ini di atas Masjid-Masjid lainnya”.
Yitzhak Hasson juga mengajukan dalil hadis-hadis yang tertera di dalam kitab Bihar Al-Anwar karya Al-Majlisi, seorang marja utama Syiah, dengan menulis bahwa “ulama Islam tidak pernah bersepakat bahwa Masjid al-Aqsha yang dimaksud adalah Masjid yang sekarang ada di kota Al-Quds sekarang ini, karena sebagian mereka menganggap bahwa Masjidil Aqsha adalah Masjid yang letaknya di langit berada tepat di atas kota Al-Quds atau Mekkah” (ibid, Dr. Mahmud Ibrahim, hlm.41)
Propaganda Yahudi yang menyangsikan posisi dan kedudukan Masjidil Aqsha di dalam keyakinan umat Islam yang mayoritas berakidah ahlusunnah wal jamaah, juga didukung oleh beberapa serpihan pemikiran orientalis.
Ignas Goldziehr (Orientalis Hongaria berdarah Yahudi, 1850-1920 M) adalah orang pertama yang meragukan hadis-hadis keutamaan Masjidil Aqsha yang ada sekarang ini dengan mengklaim bahwa khalifah Abdul Malik bin Marwan pada masa Umawiyah, telah melarang orang pergi haji ke Mekkah pada masa fitnah yang terjadi pada masa Abdullah ibnu Az-Zubair yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang menguasai kota Mekkkah.
Sebagai tandingannya, Abdul Malik ibnu Marwan membangun The Dome of Rock (Qubbat Sakhra) di Masjidil Aqsha agar umat Islam pergi haji ke sana sebagai alternatif berhaji ke Mekkah yang sedang dikuasai oleh Ibnu Zubair.
Untuk memuluskan politik ‘haji’ ala Abdul Malik bin Marwan inilah, menurut Ignas Goldziehr, ia meminta Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri untuk membuat hadis-hadis palsu yang menerangkan keutamaan Masjidil Aqsha seperti hadis populer tentang syaddu rihal ke Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
Goldziher mengklaim bahwa semua hadis keutamaan baytul maqdis itu melalui jalur periwayatan ibnu Syihab Az-Zuhri. (lihat pembahasan ini dalam kitab As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ Islami, karya Dr. Musthafa As-Siba’I, hlm. 189-199, cet. Maktab Islami, tahun 1985)
Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa Yahudi memanfaatkan hadis-hadis Syiah yang bertujuan politis untuk melawan para khalifah Bani Umayyah dan untuk memberikan keistimewaan bagi kota-kota suci Syiah yang melebihi kedudukan Masjidil Aqsha.
Dengan demikian jelas pula kedudukan Masjidil Aqsha di mata Syiah. Karena mereka tidak mengakui keistimewaan Masjid suci ketiga dan kiblat pertama umat Islam, yang dibebaskan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA dan dipugar oleh para khalifah Bani Umayyah, serta dibebaskan kedua kali dari Pasukan Salib oleh Sultan An-Nashir Shalahudin Ayyubi.
Jadi mana mungkin mereka mengakui keistimewaan Masjid yang dimuliakan oleh tokoh-tokoh Ahlusunnah yang dimata mereka semua sangat dibenci. Khalifah Umar bin Khattab jelas dituding merampas hak kekhalifahan Ali, Bani Umayyah apalagi jelas dituding membantai dan menindas Ahlul Bayt dan pengikutnya, dan Sultan Shalahudin Ayyubi jelas sekali menghancurkan kekuatan daulah Syiah ismailiyah, saudara kembar Syiah imamiyah, yaitu Daulah Fatimid di Mesir, sebelum beliau mengalahkan kekuatan Salib.
Kenapa Al-Quds?
Sekarang, pertanyaannya mengapa kelompok Syiah dunia saat ini menaruh perhatian besar terhadap persoalan Al-Quds dan Masjidil Aqsha? Sudah beberapa seminar internasional digelar dan juga seminar-seminar nasional yang diadakan oleh pihak-pihak Indonesia yang pro Syiah yang mengangkat tema pembebasan Al-Quds.
Saya menduga, bahwa perhatian mereka terhadap persoalan Al-Quds dan Masjid Aqsha belakangan ini lebih disebabkan faktor-faktor politis, non ideologis keagamaan murni.
Salah satu blog Syiah (www.yahosein.com) di dunia Arab pernah pertanyakan status dan kedudukan Masjidil Aqsha di mata Syiah.
Uniknya, salah satu peserta diskusi jelas menyatakan bahwa “Masjid Al-Quds itu menurut Syiah dan golongan-golongan sesat (Ahlusunnah, di dalamnya) diakui telah dibangun oleh perampok nomor dua (kiasan untuk Khalifah Umar), dan di dalamnya ada kayu minbar yang populer dengan sebutan mimbar shalahuddin, di mana sultan kharabuddin (perusak agama, julukan buat Shalahudin Ayyubi di kalangan Syiah) membacakan khutbah, amat disayangkan ada umat Syiah yang bersedih dan menangis ketika Yahudi menggali di kawasan sekeliling Masjidil Aqsha.”
Hemat saya, perhatian mereka belakangan ini kepada isu Palestina dan Al-Quds memang disebabkan faktor politis non ideologis. Sebab jika ditilik akidah atau ideologi Syiah tentang Masjid Al-Aqsha jelas sekali dianggap tidak suci dan tidak istimewa melebihi Masjid Kufah, Karbala, Kubah Samarra, Najaf dan lain-lain. Satu-satunya alasan yang tersisa adalah faktor politis.
Seperti kita maklumi, Iran sejak revolusi Khomeini bersemangat ingin mengekspor revolusi Syiahnya ke seluruh dunia Islam dan bekerja siang malam untuk menyebarkan paham Syiah dengan segala sumber daya yang dimiliki.
Untuk tujuan itu, mereka berpikir keras agar paling tidak sebagai tahap awal bisa diterima oleh mayoritas mutlak umat Islam yang ahlusunnah ini dan tidak dicurigai membawa paham Syiah. Mereka melihat bahwa isu Palestina dan Al-Quds sejak beberapa dekade silam menjadi isu sentral sekaligus seksi di mata umat Islam dunia. Oleh sebab itulah, para politisi dan ulama Syiah mengangkat isu ini sebagai ‘jualan’ komoditas mereka (trademark).
Mereka juga sejak dekade lalu menetapkan Hari Al-Quds Internasional pada setiap jum’at terakhir bulan Ramadhan. Isu sentral Al-Quds memang sangat sentral dan empuk untuk meraih kepercayaan dan simpati publik Muslim Sunni di dunia Islam.
Persoalan utamanya justru yang bisa menjadi pembenar dugaan saya bahwa isu ini dieksplotasi secara politis untuk menyebarkan paham Syiah dengan seolah menggambarkan kepahlawanan Syiah lah sesungguhnya yang mengalahkan Israel dalam perang Hizbullah tahun 2006 dan manuver Ahmadinejad, presiden Iran, yang terus menerus berkoar akan melumatkan Israel dan menghapusnya dari peta dunia.
Strategi ini cukup sukses untuk membius dan menipu ulama dan cendekiawan sunni yang awam terhadap strategi Syiah ini, sehingga secara langsung atau tidak ikut membantu dan membela hak Syiah menyebarkan ajarannya di tengah komunitas Ahlusunnah.
Padahal tanah yang diberkahi yaitu Palestina dan Al-Quds tidaklah dimuliakan dan disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya melainkan karena di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsha. Untuk itulah, terdapat hadis-hadis mutawatir yang menyebutkan keutamaan shalat di dalamnya, dan bepergian kesana. Namun, seperti yang sudah saya singgung, sikap dan pendirian para mufasir dan ulama-ulama rujukan utama Syiah tidak menganggap sama sekali adanya Masjidil Aqsha, apalagi keistimewaannya seperti dijelaskan oleh sumber-sumber Ahlusunnah.
Oleh sebab itu tidak ada tafsir lain yang bisa menjelaskan perhatian besar mereka terhadap isu Al-Quds dan palestina, selain faktor politis yang saya kemukakan di atas. Silahkan pembaca menilainya sendiri secara objektif. Diterima atau tidak terserah pembaca.
Mamduh Ismail, seorang kolumnis Palestina menulis di situs Islamway.com bahwa poros aliansi Syiah Iran-Suriah-Hizbullah adalah kaum munafik yang memanfaatkan isu Palestina untuk kepentingan mereka sendiri sebagai jualan heroisme kepada rakyatnya dan bangsa-bangsa muslim dunia. Namun pada saat Gaza digencet Israel dan dibombardir Zionis selama lebih dari 20 hari di akhir tahun 2008 sampai Januari 2009, poros Syiah yang tampil heroik di depan publik muslim dunia ternyata tidak menolong sedikitpun kepada ‘saudara-saudara’ mereka kaum muslimin di Gaza yang menderita akibat agresi Israel. Tidak satupun roket atau senjata yang mereka kirim untuk membantu Hamas yang berjuang sendirian mempertahankan Gaza dari agersi Israel. Padahal katanya mereka adalah Negara kuat yang memiliki kekuatan militer yang bisa menghancurkan pasukan Zionis. Namun apa yang terjadi? Apa yang mereka lakukan hanyalah bentuk kemunafikan yang menjijikkan (lihat link berbahasa arab http://ar.Islamway.com/article/4939 diunduh oleh penulis pada tanggal 4 Juli 2012)
Kesimpulannya, saya berkeyakinan bahwa kelompok yang ‘terbiasa’ menghina Khalifah Umar bin Khattab dan mendiskreditkan Shalahuddin Ayyubi pada masa silam, tentu saja tidak akan bisa membebaskan Palestina dan Al-Quds pada masa kini.
Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha hanya bisa dibebaskan oleh kelompok yang mendapat pertolongan Allah ta’ala, mereka disebut At-Thoifah Al-Manshurah yang teguh dan istikamah memegang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, dan memiliki akidah yang sahih tidak bercampur sedikitpun dengan bid’ah-bid’ah dhalalah seperti akidah kemaksuman manusia biasa selain Rasul, dan apalagi yang meyakini Al-Qur’an ini palsu dan terdistorsi. Wallahu A’lam. [FS].