Ingat saat krisis moneter menimpa Indonesia tahun 1997? Masih terkenang bagaimana Michel Camdessus, saat itu Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional, sembari berlipat tangan mengawasi almarhum Presiden Soeharto meneken surat berisi janji mereformasi ekonomi atas desakan IMF.
Kemudian, muncul berita, Bill Clinton, saat itu Presiden AS, sampai menelepon Soeharto agar memenuhi desakan IMF, yang dianggap sebagai alat kekuasaan Konsensus Washington.
Masih ingat juga keberangan Bob (Mohamad) Hasan, saat itu menjabat Menteri Perindustrian, yang dengan jengkel mengatakan, Indonesia bukanlah republiknya IMF. Ini merujuk kepada kejengkelannya atas desakan-desakan IMF agar Indonesia melakukan deregulasi, termasuk membubarkan Bulog, yang kemudian mengakibatkan kehancuran sistem pengadaan dan harga-harga bahan pokok.
Teringat juga Ginandjar Kartasasmita, saat itu Menko Perekonomian, bolak-balik memimpin rapat karena IMF selalu memantau setiap langkah dan janji soal reformasi ekonomi.
Janji ini selalu dikaitkan dengan pengucuran dana. Jika janji reformasi terlambat, kucuran dana pun terancam. Maka, saat itu istilah letter of intent (LOI) terkenal di kalangan wartawan peliput krisis. LOI ini berisi langkah-langkah dan realisasi reformasi yang didiktekan IMF terhadap RI.
Hal ini seiring dengan pelarian modal dari Indonesia yang membuat Indonesia menghadap ke IMF untuk mendapatkan dana talangan 43 miliar dollar AS.
Setelah itu, masih jelas dalam ingatan, Direktur IMF untuk Urusan Asia Pasifik Hubert Neiss bolak-balik mengawasi perkembangan reformasi ekonomi Indonesia.
Semua itu memang merupakan buah dari keteledoran pebisnis Indonesia yang meminjam dana murah dari luar negeri, tetapi ditanamkan di sektor properti yang tidak laku.
Hal itu juga sehubungan dengan penumpukan utang negara Indonesia, padahal di sisi lain wabah korupsi marak dan bumper untuk menghadapi tidak disiapkan. Maka, muncul sejarah ”penghinaan” oleh IMF terhadap RI, yang mungkin tak akan pernah dilupakan sebagian kalangan Indonesia.
”Tak berani”
Kini, krisis lebih-kurang serupa menghadang zona euro, julukan bagi 17 negara pengguna mata uang tunggal euro. Krisis utang juga menimpa markas dan ikon utama ekonomi pasar serta markasnya Konsensus Washington, yakni AS.
Namun, di mana IMF sekarang? Apa perintah Dominique Strauss-Kahn, Direktur Pelaksana IMF, yang kini digantikan oleh Christine Lagarde?
Adakah IMF memaksa negara-negara itu menyusun LOI? Adakah IMF menghardik AS dan zona euro agar menyehatkan perekonomian sejak dini? Jika iya, apakah IMF berani memublikasikan keburukan dan kebijakan ekonomi AS dan zona euro sebagaimana pernah dilakukan kepada RI dan sejumlah negara berkembang lainnya?
Dr Rizal Ramli, pengamat ekonomi, dulu sudah mengingatkan akan bahaya tekanan IMF soal deregulasi. Demikian juga Kwik Kian Gie sangat kritis terhadap IMF karena dianggap tidak bisa memahami keadaan di Indonesia dan hanya memaksakan resep-resep ekonomi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kaum papa Indonesia.
Masih ingat pula sebuah gerobak mi ayam dibiarkan telantar di pinggir jalan di Kali Malang, Jakarta Timur. Pemiliknya meninggalkan tulisan tangan. Ini isinya, ”terkena krisis moneter”. Krisis justru memburuk setelah resep IMF, dengan fokus liberalisasi, yang membuat mahal harga terigu saat itu. Ah, munafiknya IMF.
Kemudian, muncul berita, Bill Clinton, saat itu Presiden AS, sampai menelepon Soeharto agar memenuhi desakan IMF, yang dianggap sebagai alat kekuasaan Konsensus Washington.
Masih ingat juga keberangan Bob (Mohamad) Hasan, saat itu menjabat Menteri Perindustrian, yang dengan jengkel mengatakan, Indonesia bukanlah republiknya IMF. Ini merujuk kepada kejengkelannya atas desakan-desakan IMF agar Indonesia melakukan deregulasi, termasuk membubarkan Bulog, yang kemudian mengakibatkan kehancuran sistem pengadaan dan harga-harga bahan pokok.
Teringat juga Ginandjar Kartasasmita, saat itu Menko Perekonomian, bolak-balik memimpin rapat karena IMF selalu memantau setiap langkah dan janji soal reformasi ekonomi.
Janji ini selalu dikaitkan dengan pengucuran dana. Jika janji reformasi terlambat, kucuran dana pun terancam. Maka, saat itu istilah letter of intent (LOI) terkenal di kalangan wartawan peliput krisis. LOI ini berisi langkah-langkah dan realisasi reformasi yang didiktekan IMF terhadap RI.
Hal ini seiring dengan pelarian modal dari Indonesia yang membuat Indonesia menghadap ke IMF untuk mendapatkan dana talangan 43 miliar dollar AS.
Setelah itu, masih jelas dalam ingatan, Direktur IMF untuk Urusan Asia Pasifik Hubert Neiss bolak-balik mengawasi perkembangan reformasi ekonomi Indonesia.
Semua itu memang merupakan buah dari keteledoran pebisnis Indonesia yang meminjam dana murah dari luar negeri, tetapi ditanamkan di sektor properti yang tidak laku.
Hal itu juga sehubungan dengan penumpukan utang negara Indonesia, padahal di sisi lain wabah korupsi marak dan bumper untuk menghadapi tidak disiapkan. Maka, muncul sejarah ”penghinaan” oleh IMF terhadap RI, yang mungkin tak akan pernah dilupakan sebagian kalangan Indonesia.
”Tak berani”
Kini, krisis lebih-kurang serupa menghadang zona euro, julukan bagi 17 negara pengguna mata uang tunggal euro. Krisis utang juga menimpa markas dan ikon utama ekonomi pasar serta markasnya Konsensus Washington, yakni AS.
Namun, di mana IMF sekarang? Apa perintah Dominique Strauss-Kahn, Direktur Pelaksana IMF, yang kini digantikan oleh Christine Lagarde?
Adakah IMF memaksa negara-negara itu menyusun LOI? Adakah IMF menghardik AS dan zona euro agar menyehatkan perekonomian sejak dini? Jika iya, apakah IMF berani memublikasikan keburukan dan kebijakan ekonomi AS dan zona euro sebagaimana pernah dilakukan kepada RI dan sejumlah negara berkembang lainnya?
Dr Rizal Ramli, pengamat ekonomi, dulu sudah mengingatkan akan bahaya tekanan IMF soal deregulasi. Demikian juga Kwik Kian Gie sangat kritis terhadap IMF karena dianggap tidak bisa memahami keadaan di Indonesia dan hanya memaksakan resep-resep ekonomi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kaum papa Indonesia.
Masih ingat pula sebuah gerobak mi ayam dibiarkan telantar di pinggir jalan di Kali Malang, Jakarta Timur. Pemiliknya meninggalkan tulisan tangan. Ini isinya, ”terkena krisis moneter”. Krisis justru memburuk setelah resep IMF, dengan fokus liberalisasi, yang membuat mahal harga terigu saat itu. Ah, munafiknya IMF.
0 Comments:
Post a Comment